Page 151 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 151
124 Herman Soesangobeng
Eropah (Europeese), Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dan
Bumiputra (Inlander).
Status untuk menjadi subjek hukum atas tanah
sebagai objek hak milik, pun dibedakan berdasarkan ketiga
penggolongan penduduk Negara tersebut. Dalam hal ini,
golongan penduduk yang berhak menjadi subjek hukum
pemilik tanah dengan hak keperdataan yang bersifat
kebendaan yaitu ‘eigendom’, hanyalah golongan penduduk
Eropah dan sebahagian Timur Asing yang sudah diakui
dengan surat keputusan (besluit) khusus. Golongan penduduk
Bumiputra, tidak diakui sebagai subjek hukum untuk memiliki
hak keperdataan atas tanah menurut hukum Belanda (BW/
KUHPInd.)
Konsep hukum golongan penduduk Bumiputra itu, hanya
berlaku untuk daerah kekuasaan langsung Belanda di Jawa-
Madura. Mereka itu diakui dan dijamin hak keagrariannya
menjadi ‘penggarap’ (bewerker) tanah milik Negara, dengan
kewajiban membayar pajak karena menikmati hasil bumi
dari tanah milik Negara yang pajaknya disebut ‘landrente’.
Penduduk yang merupakan kawula Raja di daerah Swapraja,
tidak disebut ‘penduduk Bumiputra’ melainkan ‘kawula Raja’
(Onderhorigen). Peraturan hukum pertanahan dan kewajiban
pembayaran pajak tanahnya, dibayarkan kepada Raja dan
Hukum Pertanahan Adat menjadi hukum yang dianutnya.
Maka penduduk ‘kawula Raja’ itu adalah pemilik tanah
dengan hak keperdataan sebagai pemilik dan hubungan
keagrariaan menurut Hukum Adat setempat.
Namun, Pemerintah Belanda tetap ikut mengatur
hubungan hukum keagrariaan daerah Swapraja, sehingga
dikenal ‘persewaan tanah’ milik Swapraja dan pengenalan
lembaga-lembaga keagrariaan Barat yang dijadikan lembaga
adat seperti ‘tanah gerant’, ‘tanah jalur’, ‘tanah selingan’ di
Sumatra Timur; ataupun ‘tanah bengkok’, ‘gogol’, ‘sanggan’,
‘pekulen’, ‘pangonan’, ‘pengambilan hasil hutan dan laut’,
dan sebagainya di Jawa.