Page 149 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 149
122 Herman Soesangobeng
dibedakan antara daerah kekuasaan pemerintahan langsung
(rechtstreeks bestuurd gebied) dan yang tidak langsung
(nietrechtstreeks bestuurd gebied). Setelah terbentuknya Hindia
Belanda, maka Raja-Raja Pribumi itu baik di Jawa- Madura
yaitu Kerajaan Yogya-Solo maupun di luar Jawa-Madura,
selanjutnya diatur dalam sistim Pemerintahan yang disebut
‘Swapraja’ (Zelfbestuur atau Landschap). Daerah kekuasaan
langsung disebut daerah pemerintahan ‘Gubernemen’
(Gouvernement Bestuurd) yang hukum pertanahannya tunduk
pada BW/KUHPInd.; sedangkan yang tidak langsung disebut
daerah kekuasaan ‘Swapraja’ (Zelfsbestuurs/Landschap gebied),
dalam hal ini Hukum Pertanahan Adat tetap diakui berlaku
atas tanahnya. Maka dikenal pula sistim hukum agraria
khusus untuk daerah Swapraja yang disebut ‘Zelfbestuur
Agrarische Regelen’. Semua keputusan pengaturan hubungan
keagrariaannya, diserahkan kepada Kepala Pemerintahan
Daerah Swapraja (Zelfbestuurder), sepanjang mengenai
tanah-tanah yang masih dikuasai oleh Raja-Raja Pribumi.
Sedangkan terhadap tanah-tanah yang sudah dikuasai
Pemerintah Belanda yang disebut juga ‘tanah Gubernemen’,
keputusannya dilakukan oleh Kepala Pemerintahan Belanda
setempat seperti Kontrolir (Controleur) atau Walikota
(Burgermeester). Jadi pejabat Negara/Publik pemutus hubungan
hak serta kewajiban keagrariaan di daerah-daerah Swapraja,
adalah pejabat ‘bezoldigde ambtenaar’ dari ‘Binnenlandse Bestuur’
baik pada Pemerintahan Swapraja maupun Gubernemen.
5.3.A.4.5. Notaris tidak berwenang buat akta perjanjian atas
tanah-tanah Adat:
Pejabat ‘onbezoldigde ambtenaar’ seperti Notaris, pun
hanya berkuasa dan berwenang membuat perjanjian-
perjanjian keperdataan atas tanah-tanah ‘Gubernemen’
yang dilakukan antara penduduk yang tunduk pada
pemerintah pusat Belanda di Batavia yaitu penduduk
golongan orang Eropah/Belanda dan Timur Asing yang telah