Page 150 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 150
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 123
diakui Negara Hindia Belanda. Notaris tidak berwenang
membuat akta perjanjian, dengan ancaman akibat ‘batal
karena hukum’ (nietig van rechtswege), atas tanah-tanah
Adat dan perbuatan hukum di antara sesama penduduk yang
termasuk penduduk Swapraja serta tunduk pada kekuasaan
Raja Pribumi dan disebut ‘onderhorigen’. Akan tetapi, terhadap
para pengusaha Belanda yang mendapatkan izin (verguning)
usaha perkebunan berdasarkan peraturan ‘landbouwconcessie’
yang letak tanahnya jauh sehingga memerlukan perlindungan
‘extra-polisi’, maka biaya pengamanannya ditanggung oleh
pekebun (concessionaries) sendiri, dalam hal ini perjanjiannya
dibuat oleh Notaris dengan ‘akta notaris’ (notareel acte). Jadi
hak dan kewenangan Notaris di Daerah ‘Landschap’ atau
Swapraja, terbatas hanya terhadap perbuatan hukum yang
dilakukan oleh orang Eropah dan Timur Asing yang telah
diakui sama dengan Eropah.
5.3.B. Subjek dan objek pemegang hak atas tanah:
Sesuai dengan politik hukum Belanda di Indonesia,
maka subjek pemegang hak atas tanah adalah orang sebagai
subjek hukum (corpus) yang berdiam di dalam wilayah hukum
(teritori) Negara Hindia Belanda.
Politik hukum ketatanegaraannya, hanya mengenal orang
Belanda sebagai warga Negara Belanda, sehingga tunduk
pada hukum Sipil Belanda (BW) dimana pun dia berada.
Tetapi untuk Hindia Belanda, karena merupakan daerah
jajahan yang dihuni oleh pelbagai macam penduduk yang
tidak sama sistim hukum maupun kedudukan sosial, ekonomi
dan kebudayaannya, maka kedudukan hukum sebagai warga
negara Belanda, tidak dapat diberlakukan kepada semua
penduduk. Untuk mengatasi kesulitan tentang keragaman
jenis penduduk dan sistim hukumnya, pemerintah Hindia
Belanda memberlakukan politik golongan penduduk
(bevolkingsrecht politiek). Demikianlah maka penduduk Hindia
Belanda dibedakan menjadi tiga golongan penduduk yaitu