Page 236 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 236

Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum ....     209


                    yang  dimiliki Pemerintah itu, berstatus hukum sebagai benda
                    milik publik (res publicum) yang tidak boleh diperdagangkan,
                    karena tanahnya menjadi tanah ‘res extra commercium’ yaitu
                    tanah yang dikeluarkan dari hubungan perdagangan mencari
                    keuntungan ekonomi uang.
               8.  Hak menguasai masyarakat hukum adat atas tanah:
                       Filosofi  hak  menguasai  dari  masyarakat  hukum  adat
                    atas tanah,  yang juga disebut ‘beschikkingsrecht’  oleh Van
                    Vollenhoven, adalah untuk mengatur penyediaan, pemberian
                    kuasa menggunakan dan memanfaatkan tanah agar hasilnya
                    bisa dinikmati orang pribadi, keluarga, maupun masyarakat
                    hukum  adat .  Jadi  hak menguasai masyarakat  hukum  adat
                               5
                    itu, bukan hak milik tertinggi yang mutlak di atas hak milik
                    perorangan secara  pribadi,  keluarga maupun    organisasi
                    masyarakat,  seperti  halnya  ‘dominium  eminens’  pada hukum
                    Romawi  maupun  ‘right  of  emminens  domein’  pada  hukum
                    Sipil, Komon  serta  Anglo-Saxon.  Karena  itu,  hak  menguasai
                    masyarakat  hukum adat itu, tidak dapat disamakan dengan
                    hak milik mutlak tertinggi (supreme propreitory) yang dipahami
                    pada  ajaran dan  asas hukum  Komon Inggeris dan  Anglo-
                    Saxon Amerika.
                       Hak  menguasai   dalam   Hukum   Pertanahan   Adat
                    itu,   lebih   bersifat mengatur  penggunaan  tanah  dan
                    menjaga  keamanan  pemilikan   individu,  agar  tanah bisa
                    terus dimanfaatkan  oleh warga dan keturunannya  sampai
                    kapanpun, tanpa batas  waktu. Karena, warga masyarakat
                    hukum tidak hanya manusia pribadi,  tetapi juga roh-roh
                    mereka yang mati dan dikubur sehingga tulang-belulangnya
                    berada dalam tubuh bumi, maka warga masyarakat hukum
                    pun  dianggap  tidak  pernah lenyap,  melainkan  tetap  hidup
                    dalam masyarakat meskipun  dalam  bentuk  roh-roh  nenek
                    moyang.  Maka  setiap  tindakan manusia atas tanahnya,


                   5    R. Soepomo, Hubungan individu dan masjarakat dalam hukum adat,
               ibid. hlmn. 29-30.
   231   232   233   234   235   236   237   238   239   240   241