Page 239 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 239

212     Herman Soesangobeng

                 itu,  oleh Van Vollenhoven  disebut  ‘Inlandsch  bezitsrecht’ ,
                                                                       6
                 dalam  pengertian  ‘pemilik  asal’  atau ‘pemilik   asli’   yang
                 menduduki   dan   menguasai   tanah.   Hak   ‘Inlandsch
                 bezitsrecht’ yang diterjemahkan menjadi ‘hak milik pribumi’
                 itu adalah Penerjemahan status hukum inilah yang merupakan
                 dasar untuk mengatakan bahwa hak kepemilikan atas tanah
                 dari WNI, adalah sama dengan Hak Asasi Warga Negara
                 Indonesia (HAWNI). Berdasarkan konsepsi  dasar tentang
                 hak kepemilikan tanah oleh warga masyarakat hukum inilah,
                 maka diciptakan ketentuan dalam hukum pertanahan adat,
                 bahwa ‘hanya warga masyarakat hukum adat saja’ yang
                 berhak sepenuhnya menjadi  ‘pemilik  tanah’.  Orang luar
                 sebagai orang asing yaitu mereka yang tidak tergolong sebagai
                 anggota warga masrakat persekutuan hukum, hanya memiliki
                 hak pakai sebagai hak agraria. Ketentuan  mana, juga sudah
                 dilembagakan  kembali  oleh UU No.5/1960  melalui  norma
                 larangan  kepada WNA  untuk memiliki  tanah,  tetapi berhak
                 memakai tanah dengan hak pakai selama waktu tertentu.

            10.  Perbuatan hukum dalam adat, melahirkan hak kebendaan
                 dan  hak perorangan:
                    Perbuatan hukum  atas tanah dalam hukum adat,
                 memegang peranan penting karena ajaran hukum pertanahan
                 adat  mengajarkan bahwa dari  perbuatan  hukumlah,  lahir
                 hak-hak yang bersifat kebendaan (zakelijk recht) maupun hak
                 perorangan (persoonlijk recht). Dalam hal ini perbuatan hukum
                 yang melahirkan  hak kebendaan,  harus memenuhi formalita
                 persyaratan  hukum adat tertentu; sementara perbuatan yang
                 melahirkan hak perorangan, bersifat lebih   informal   atau
                 tidak      resmi.      Sekalipun      demikian,      perbuatan      yang
                 melahirkan  hak perorangan itu,  tetap harus diberitahukan
                 kepada kepala masyarakat adat agar mendapatkan
                 perlindungan  hukum  oleh  masyarakat hukum adat. Karena
                 sesuai dengan ajaran hukum adat, kekuatan hukum dari suatu

                6    C. Van Vollenhoven, De Indonesier en zijn grond, ibid., hlmn. 10-11.
   234   235   236   237   238   239   240   241   242   243   244