Page 244 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 244

Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum ....     217


                    keturunannya. Tanah upah jabatan itu disebut ‘tanah jabatan’
                    (ambtveld), namun penduduk menyebutnya ‘bengkok’. Asumsi
                    dasar hukumnya adalah karena seluruh tanah dalam Negara
                    Hindia  Belanda adalah milik Negara, jadi tidak  ada tanah
                    kepunyaan masyarakat hukum adat seperti desa. Karena
                    itu,  Negara berhak bebas menetapkan  penggunaan tanah
                    miliknya, yang diduduki dan dikuasai oleh masyarakat hukum
                    desa untuk digunakan  menjadi  upah  bagi  pejabat  desa.
                    Demikianlah maka tanah ‘bengkok’ ditetapkan   berdasarkan
                    keputusan  pemerintah  Belanda  dalam bentuk Bijblad no.
                    6535 jo. S. 1854 No. 51 tahun 1925 No. 434, dan S. 1939
                    No.  287  dengan ketentuan pelaksanaannya dalam  Bijblad
                    5558. Bahkan pemerintahan  desa  pun  diberikan  kebebasan
                    untuk  menetapkan  bagian-bagian tanah dalam lingkungan
                    desa, untuk  biaya pembangunan dan belanja desa yang
                    disebut tanah ‘kas desa’, ‘titisara’, ‘kanomeran’, dan sebagainya
                    menurut tujuan penggunaannya.  Jenis-jenis tanah demikian
                    ini selanjutnya oleh masyarakat desa disebut sebagai tanah
                    adat milik desa. Padahal sumber filosofinya adalah ideologi
                    Negara Belanda dengan teori ‘domeinverklaring’- nya. Jadi
                    jenis-jenis tanah tersebut, tidak bersumber pada filosofi, asas
                    dan ajaran Hukum Pertanahan Adat Indonesia.
                       Mengingat sumber dasar filosofi dan asas serta ajaran hak
                    atas tanah ‘bengkok’ maupun tanah ‘kas desa’ dan sebagainya
                    itu,  adalah pada  politik  keagrariaan    pemerintah    Belanda,
                    maka  jenis-jenis  hak  itu  dapat  dengan mudah  dihapus
                    dan  diganti  dengan  lembaga  baru  sesuai  dengan  filosofi
                    Negara  NKRI  dan  Hukum  Pertanahan  Indonesia.  Maka
                    sekalipun dipahami luas oleh warga masyarakat sebagai
                    tanah dengan lembaga hak adat, namunhasil   analisa  untuk
                    penerjemahan   kembali,  membuktikan bahwa hakekat  dasar
                    filosofinya  adalah  hukum  Barat  (BW/KUHPInd.)  sehingga
                    harus dihapus dan diganti.
   239   240   241   242   243   244   245   246   247   248   249