Page 249 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 249
222 Herman Soesangobeng
rasa keadilan masyarakat sebagai rakyat Indonesia, karena
sumber penafsiran penegakkannya pun bersumber pada
filosofi hubungan keagrariaan BW/KUHPInd. yaitu ‘erfpacht’
dan ‘recht van opstal’ sehingga bertentangan dengan tuntutan
rasa keadilan adat masyarakat sebagai rakyat Indonesia.
Karena itu, HGU dan HGB sering melahirkan tuntutan
pengembalian kembali menjadi hak adat untuk dimiliki
kembali oleh rakyat setelah berakhirnya HGU dan HGB
yang dikuasai Pengusaha. Bahkan setelah tanah dinyatakan
menjadi ‘dikuasai negara’ lalu diberikan kepada Pengusaha
dengan hak HGU atau HGB, masyarakat sebagai rakyat
pun selalu menuntut pengembalian jenis hak itu berdasarkan
hak adat mereka. Karena itu penegakkan ‘hak milik’ UUPA
1960, harus ditegakkan berdasarkan teori kepemilikan ‘de
facto-de jure’, sebagai pengganti teori hak milik ‘eigendom’
dan ‘domeinverklaring’ yang harus dihapus. Sementara terhadap
hak HGU dan HGB, harus diganti dengan hak pakai dengan
jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan para pihak.
18. Kedudukan, fungsi dan peranan masyarakat hukum
adat:
Perubahan struktur dan organisasi sosial masyarakat
hukum adat yang dibawah ke dalam masyarakat politik
Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyebabkan perlunya
diadakan suatu penerjemahan kembali dengan tafsiran
kontemporer terhadap kedudukan, fungsi dan peranan
masyarakat hukum adat. Kedudukan, fungsi dan peranan
masyarakat hukum yang dalam hukum adat tradisional
menjadi pusat kekuasaan pengaturan kehidupan masyarakat
ke dalam dan ke luar, setelah proklamasi kemerdekaan dan
terbentuknya NKRI, maka pemusatan kekuasaan masyarakat
hukum pun dilebur ke dalam kekuasaan Negara NKRI.
Dengan demikian, kedudukan, fungsi dan peranan
masyarakat hukum adat, hanya mengatur urusan adat ke
dalam secara internal masyarakat saja, mengenai urusan