Page 253 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 253
226 Herman Soesangobeng
dijual kepada pembeli. Wujud pembayarannya pun lalu
diwujudkan dalam bentuk pembayaran sebagian dari nilai
harga jual, yang dalam masyarakat adat disebut ‘panjer’ tetapi
kini disebut ‘tanda jadi’, ‘voorschot’, ‘down payment’, dengan
tafsiran sebagai angsuran pertama dari harga jual seluruhnya.
Jadi arti ‘tunai’ tidak sama dengan pembayaran lunas harga
jual beli tanah, baru bisa dibuatkan akta jual belinya.
Kemudian terhadap arti ‘terang’, adalah mengenai
jaminan keabsahan perbuatan jual beli tanah, karena sudah
sesuai dengan ketentuan hukum pertanahan. Jadi bukan
keharusan hadirnya para pihak secara fisik di hadapan
pejabat PPAT ketika akta jual beli ditandatangani oleh para
pihak di hadapan pejabat PPAT.
21. Perjanjian jual beli tanah sementara:
Karena asas dan ajaran hukum pertanahan sudah tidak
lagi menganut ajaran dan asas hak milik ‘eigendom’, maka
perbuatan hukum jual beli tanah pun tidak lagi menganut
asas ‘kesepakatan pendahuluan’ (voorovereenkomst-Bld. atau
pactum de contra hendo-Rmw.). Dalam asas dan ajaran hukum
pertanahan ‘beschikkingsrecht’, jual beli tanah yang masih diikat
dengan ikatan ‘panjer’, yang terpisah dari pembayaran
harga jual belinya, dikenal dan dibenarkan dalam hukum
adat. Jadi filosofi hukum pertanahan adat, jual beli yang
bersifat mengalihkan hak dan menyerahkan tanah sebagai
benda tetap antara penjual dan pembeli, bisa dilakukan
dengan perjanjian cara pembayaran harga jual tanah secara
angsuran beberapa kali sampai lunas. Lembaga ini, yang
dapat ditafsirkan secara kontemporer dan dilembagakan ke
dalam sistim Hukum Pertanahan dan Hubungan Keagrariaan
Nasional Indonesia menjadi lembaga hukum ‘jual beli
sementara’.
Sebagai lembaga ‘jual beli sementara’, perlu ada
persyaratan hukum yang harus dipenuhi. Persyaratan itu
adalah: