Page 248 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 248
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 221
jenis hak dan lembaga perpajakan tanah baru tanpa banyak
menimbulkan gejolak sosial berupa protes maupun sengketa.
Sekalipun semua jenis hak itu pada asalnya tidak bersumber
pada jiwa dan filosofi hukum pertanahan adat, namun proses
sosial telah menyebabkan jenis-jenis hak itu diterima dan
diakui masyarakat sebagai sama dengan hak adat mereka,
sehingga beberapa di antaranya sudah disebutkan dengan
istilah adat setempat seperti ‘gogol’, ‘narawita’, dan ‘bengkok’.
Maka konversi hak-hak ciptaan pemerintah Belanda itu pun
dapat dilalukan melalui keputusan undang-undang seperti
dalam Ketentuan Konversi UU No. 5/1960.
17. Perumusan hak baru yang masih bersumber pada hak
‘eigendom’ dan ‘domeinverklaring’:
Sebaliknya perumusan ‘hak milik’ dalam Pasal 20 UUPA
1960, sekalipun isi rumusannya tampak bersumber pada
Hukum Adat, namun jiwa filosofi penegakkannya masih
dilandaskan pada tafsiran serta paradigma hak ‘eigendom’
dan teori ‘domeinverklaring’. Hal itu tampak dengan jelas,
dari penggunaan alat bukti hak milik yang hanya mengakui
‘sertipikat hak milik’ (SHM) saja yang diakui sah sebagai
pemilik tanah. Satu model tafsiran, yang sama dengan
ajaran pembuktian hak ‘eigendom’ dan ‘domeinverklaring’,
bahwa hanya pemegang ‘acte van eigendom’ sajalah yang
diakui sah sebagai pemilik tanah. Pada masa kolonial
Belanda, mereka yang tidak memiliki ‘acte van eigendom’
atau setelah berlakunya UUPA 1960 adalah ‘sertipikat hak
milik’ (SHM), adalah penggarap yang menduduki tanah
milik Negara (landsdomein). Karena itu, penegakkan hak milik
berdasarkan UUPA 1960, menjadi bertentangan dengan rasa
keadilan rakyat sebagai WNI, yang tercermin dalam
Hukum Pertanahan Adat Indonesia.
Demikian juga, dua hak agraria baru dalam UUPA 1960
yaitu ‘hak guna usaha’ (HGU) dan ‘hak guna bangunan’
(HGB), pun melahirkan penegakkan hukum yang melawan