Page 245 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 245
218 Herman Soesangobeng
14. Tanah dijadikan objek pajak bumi:
Penggunaan tanah untuk penarikan pajak, juga dilakukan
pemerintah Belanda dengan sebutan ‘landrente’ . Sistim
7
penarikan pajak itu adalah melalui pungutan pembayaran
dari hasil bumi, yang bentuknya disebut ‘hongitochten’,
‘leverantien’, termasuk ‘corvee’ atau pembayaran dengan
tenaga kerja bagi penduduk yang tidak memiliki tanah.
Sistim Belanda ini dengan keras dikritik Gubernur Jenderal
Inggeris Muntinghe sebagai ‘sistim barbar’ (barbarous
8
system), maka sejak 1812 Raffles merubahnya menjadi
‘pajak tanah’ (land tax). Pajak tanah Raffles itu pun masih
didasarkan pada besarnya hasil tanah yang disebut ‘hasil
bumi’ (crop based system), sebab penduduk orang Bumiputra
tidak mengenal ekonomi uang, tetapi Raffles menghapus
kewajiban pembayaran dengan tenaga kerja yang disebut
’kerja rodi’ oleh Belanda.
Setelah pemerintah Belanda kembali berkuasa di Jawa-
Madura, sistim ‘pajak tanah’ (landrente) pun diberlakukan
9
kembali terhadap penduduk orang Bumiputra. Asumsi dasar
dan pemikiran hukumnya, adalah pada teori ‘landsdomein’,
yang mengajarkan bahwa seluruh tanah dalam wilayah teritori
Hindia Belanda, adalah milik ‘eigendom’ Negara. Karena itu,
masyarakat hukum adat seperti desa maupun penduduk
orang Bumiputra yang menguasai dan menduduki tanah
milik Negara (landsdomein) itu, berkewajiban membayar
pajak atas pengambilan hasil untuk dinikmatinya dari
tanah milik Negara.
7 J.H.A. Logemann, Over de theorie van den stellig staatsrecht, Leiden:
Universitaire Pers,1948.
8 Cf. R. Supomo dan R. Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat:
Dari Zaman KompeniSehingga Tahun 1848, ibid., hlmn. 23; Mohammad
Tauchid, Masalah Agraria: Sebagai masalah penghidupan dan kemakmuran
rakyat Indonesia, jilid I, Djakarta: Penerbit “Tjakrawala”, 1952, hlmn. 18-
19.
9 J.H.A. Logemann, Het staat recht van Nederlansch-Indie, Bandung:
Maatshappij Vorkiek, 1947.