Page 247 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 247
220 Herman Soesangobeng
lembaga konversi itu dapat diterima, sebab akar budaya
lembaga hak dan tanah ‘gogol’ tidak bersumber pada hukum
pertanahan adat, melainkan pada keputusan pemerintah
Belanda untuk pajak yang harus dibayar penduduk desa
atas tanah milik Negara Belanda (landsdomein). Jadi dengan
berubahnya konsep kepemilikan tanah oleh Negara melalui
teori ‘domeinverklaring’ menjadi ‘hak menguasai negara’,
dan berubahnya status hukum penguguk orang Bumiputra
menjadi WNI sehingga menjadi pemilik sebenarnya atas
tanah di Indonesai, maka WNI tidak lagi menjadi pekerja
(koeli) dan penggarap (bewerkers) melainkan pemilik tanah,
sehingga penghapusan lembaga tanah ‘gogol’ pun sah dan
dibenarkan.
Namun karena perubahan jenis tanah dengan hak ‘gogol’
melalui lembaga konversi, dilakukan tanpa pengertian
dengan tafsiran yang benar, maka terjadi kekeliruan bentuk
perubahan menjadi hak milik untuk ‘gogol tetap’ dan hak
pakai untuk ‘gogol gilir’. Inilah bukti kelemahan penggunaan
lembaga ‘konversi’, karena masih menggunakan dasar-
dasar filosofi serta ajaran hukum agraria kolonial tentang
penggunaan tanah menjadi objek pajak. Maka ketentuan
konversi UUPA 1960 terhadap tanah dengan hak ‘gogol’ itu,
pun seharusnya dipandang gugur dan tidak mengikat
dengan sendirinya (nietig eo ipso). Jadi pemegang ‘gogol gilir’
pun sepanjang tetap menjadi WNI, adalah pemilik tanah
dengan hak kepemilikan ‘de facto in concreto’ yang dapat
diberikan bukti hak ‘de jure’-nya dengan tanpa halangan
apapun.
16. Konversi hak-hak lain ciptaan pemerintah Belanda:
Sama hal dengan konversi hak ‘gogol’, konversi hak-
hak agraria lain ciptaan pemerintahan Belanda seperti hak
‘agrarisch eigendom’, ‘grant controleur’, ‘grant sultan’, ‘tanah jalur’,
‘narawita’, ‘bengkok’, dan sebagainya serta lembaga pajak
tanah ‘landrente’, semuanya dapat diubah dan diganti dengan