Page 243 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 243
216 Herman Soesangobeng
Sebab hukum pertanahan adat Indonesia, dengan tegas
membedakan hak atas tanah berupa hak milik, dan hak
agraria untuk penggunaan serta pengambilan hasil tanah.
Maka hak agraria digolongkan sebagai hak perorangan yang
tunduk pada hukum perhutangan (schulden recht), sehingga
perbuatan hukum berupa ikatan perjanjiannya tidak harus
memenuhi persyaratan ‘tunai dan terang’. Artinya peralihan
hak serta penyerahan hasil untuk dinikmati orang,
senantiasa ditunda sampai hasil tanah bisa dipanen atau
diwujudkan dalam bentuk nyata berupa benda- benda yang
bisa dinikmati. Filosofi, asas dan ajaran hak dalam hubungan
keagrariaan ini pun layak dan seharusnya ditegakkan
dalam hukum pertanahan Indonesia, karena ia sesuai dengan
alam pikiran serta rasa keadilan masyarakat rakyat Indonesia.
13. Hak perorangan agraria atas tanah kepunyaan masyarakat
hukum:
Terhadap hak pakai atas tanah kepunyaan masyarakat
yang disebut juga ‘milik masyarakat’ atau ‘milik desa’, bisa
diberikan penggunaannya baik kepada warga masyarakat
maupun orang asing selama dibutuhkan. Ketentuan selama
dibutuhkan itu, dibedakan antara dibutuhkan dalam
batas waktu tertentu dan tanpa batas waktu penggunaannya,
artinya selama masih diperlukan. Batasan waktu itu umumnya
diberikan terhadap pemakaian oleh orang asing, sementara
terhadap warga masyarakat hukum bisa diberikan tanpa
batas waktu penggunaannya. Hak pakai agraria tanpa batas
waktu ini, di Minangkabau disebut hak ‘gangam bauntuak’
tanpa batas waktu penggunaannya; di Jawa, dinamakan
sesuai penggunaannya yaitu untuk tempat tinggal disebut
‘titisara’, untuk lahan penggembalaan ternak disebut ‘tanah
pangonan’.
Tanah kepunyaan masyarakat itu oleh pemerintah
Belanda, di Jawa ada juga yang ditetapkan untuk upah pejabat
desa selama masa jabatan tanpa bisa diwariskan kepada