Page 261 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 261
234 Herman Soesangobeng
dan kuat sebagai hak perorangan, disebut ‘hak milik’. Kedua
jenis hak tetap ini, bisa dipunyai baik oleh seorang individu
maupun kelompok sebagai hak perorangan dan hak bersama
oleh keluarga maupun masyarakat hukum yang disebut
‘hak bersama’. Konsep hukum ‘kuat dan penuh’ dalam hukum
adat itu, menggambarkan makna hukum, bahwa sebagai
organisasi kekuasaan masyarakat, masyarakat hukum tidak
memiliki hak untuk mencabut hak milik perorangan/individu.
Dasar filosofi, asas dan ajaran hukumnya, adalah karena
masyarakat hukum adat, bukanlah pemilik tanah tertinggi
sehingga tidak memiliki kekuasaan hukum yang disebut ‘right
of emminens domain’, yang ada dalam hukum perdata Belanda
(BW/KUHPInd.).
5. Hak keperdataan hukum adat diterjemahkan ke dalam
teori ‘de facto-de jure’ :
Dari proses pertumbuhan hak sebagai salah satu dalil
pokok Hukum Pertanahan Adat Indonesia, lahirlah hak
keperdataan adat. Proses itu membuktikan bahwa hak
keperdataan atas tanah, bertumbuh dan berkembang
melalui penguasaan dan pendudukan bidang tanah untuk
dimanfaatkan dan digunakan oleh warga masyarakat hukum.
Penguasaan dan pendudukan itulah dasar bagi lahirnya hak
keperdataan atas tanah yang kuat dan penuh, berdasarkan
empat dasar utama yaitu:
(a). karena kedudukan hukum orang sebagai warga
persekutuan masyarakat hukum,
(b). karena sudah mendapatkan perkenan berupa izin dan
dengan sepengetahuan kepala persekutuan masyarakat
hukum adat,
(c). karena maksud dan tujuan penguasaannya adalah untuk
dikelola sendiri secara langsung agar bisa dinikmati
hasilnya,
(d). tidak ada maksud dan tujuan penguasaan tanah untuk
dijadikan objek perdagangan bagi keuntungan diri
sendiri.