Page 263 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 263
236 Herman Soesangobeng
bahwa tanah masyarakat hukum adat, tidak boleh dijual lepas
untuk selama-lamanya kepada orang asing, karena mereka
bukan anggota masyarakat hukum adat.
6. Penerjemahan kembali dalil pokok Hukum Pertanahan
Adat dengan filosofi Pancasila dan UUD 1945 dalam
teori ‘de facto-de jure’:
Kedua dalil pokok Hukum Pertanahan Adat itu, kemudian
diterjemahkan kembali dengan mengacu pada filosofi, asas
dan ajaran Hukum Pertanahan serta Keagrariaan yang
dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Penerjemahan
mana selanjutnya diuji kelaikannya dengan filosofi Pancasila.
Hasilnya membuktikan pembenaran makna, bahwa tanah
adalah milik rakyat Indonesia sebagai Bangsa, sehingga
hak kepemilikan tanah adalah merupakan hak asasi dasar
rakyat sebagai warga negara Indonesia (WNI). Inilah dasar
dan sumber filosofi bagi penegasan hak asasi warga negara
Indonesia (HAWNI), menjadi pemilik tanah sebenarnya
(originair eigenaar) atas seluruh tanah dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Melalui penerjemahan kembali ini, terbukti rumusan
Pasal 33 UUD 1945 itu, telah melembagakan kembali dalil-
dalil pokok Hukum Pertanahan Adat Indonesia menjadi
norma konstitusi dasar Negara Republik Indonesia, tentang
fungsi, peran, dan tujuan penggunaan tanah. Tujuan
mana, sebenarnya merupakan pengejawantahan prinisip
dasar ke 5 Pancasila tentang ‘kesejaheraan dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Dengan demikian,
kelaikan penerjemahan dan pelembagaan kembali dalil
pokok hukum pertanahan adat itu, telah sesuai, baik dengan
norma dasar filosofi Pancasila maupun norma dasar Negara
dalam Pasal 33 UUD 1945. Jadi jiwa serta semangat UUD
1945 untuk mensejahterekan seluruh rakyat Indonesia,
adalah sama artinya dengan melembagakan kembali
dalil-dalil atau postulasi serta norma-norma dasar Hukum