Page 267 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 267
240 Herman Soesangobeng
8.c. Pemilik Anggapan adalah = pemilik ‘de facto in
abstracto’:
Kepemilikan ‘de facto’, yang lahir karena kedudukan
hukum orang baik berupa individu, keluarga, kelompok
orang, maupun negara dan pemerintah ini, masih merupakan
kepemilikan ‘anggapan’, maka dalam istilah Latinnya, disebut
kepemilikan ‘de facto in abstracto’. Disebut demikian, karena
subjek pemegang haknya, belum menguasai dan menduduki
bidang tanah tertentu secara nyata, namun hanya ‘menguasai’
secara abstrak. Maka kedudukan hukum orang (corpus), baik
berupa manusia pribadi maupun badan hukum privat dan
publik, hanya menjadi pemegang hak ‘kepunyaan’ yang dalam
sistim hukum Romawi disebut ‘jus possisionis’, yaitu sebagai
‘tuan’ (empu-Sanskrit) atas tanah. Sebagai ‘tuan’ (master-
Ingg.) atau ‘empunya’ tanah, orang (corpus) hanya memiliki
kewenangan berupa kewajiban menjaga dan mengurus, agar
tanah tidak rusak atau disalahgunakan sehingga merugikan
manusia dalam masyarakat. Kewenangan dan kewajiban
hukum demikian inilah, yang mula-mula dimiliki masyarakat
ketika orang pertama kali mendirikan desa (dorpsstichting)
9
untuk membentuk ‘persekutuan hukum adat’-nya yang
disebut ‘rechtsgemeenschappen’ oleh Van Vollenhoven dalam
teori ‘beschikkingsrecht’-nya.
8.d. Hak menguasai untuk mengurus adalah =
‘beheersrecht’:
Hakekat kewenangan memiliki sebagai ‘tuan’ atau
‘empunya’ tanah itu, adalah merupakan kewajiban dengan
tanggungjawab sosial yang masih bersifat pasif maka disebut
‘menguasai’, yang dalam istilah bahasa hukum Belanda
disebut ‘beheer’. Ketika kewajiban sosial itu diwajibkan
menjadi kewajiban aktif dari orang ataupun lembaga
hukum masyarakat, baik berupa manusia pribadi maupun
9 B. Ter Haar Bzn., Beginselen en stelsel van het adatrecht, ibid. hlmn.
81-83.