Page 280 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 280

Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum ....     253


                    Demikian   pula  tentang  batas  ke dalaman kekuasaan
                    Negara atas tanahnya pun disepakati bahwa setiap kegiatan
                    yang melampoi   batas   wilayah   Negara   pada   ke  dalam
                    berapapun,  harus mendapatkan  izin  penggunaannya dari
                    Negara yang bersangkutan. Bahkan terhadap kekayaan alam
                    yang terkandung di dalam tanah, di daratan, udara,  laut,
                    sungai dan  danau  maupun  di  dalam  tubuh bumi  berupa
                    logam, minyak gas,  dan sebagainya  pun di klaim  menjadi
                    milik kepunyaan  Negara  yang bersangkutan. Demikianlah
                    pengembangan peraturan hukum tentang penggunaan tanah
                    yang dipahami dalam arti luas.
                       Sebaliknya, penggunaan konsep tanah dalam arti sempit
                    seperti  yang dirumuskan  dalam  Pasal 4  ayat 1  UU  No.
                    5/1960,  akan menimbulkan banyak salah paham  karena
                    kekeliruan tafsir bagi penggunaannya. Bentuk rumusan Pasal
                    4 ayat 1, menyatakan:  “Atas dasar hak menguasai  dari negara
                    ….. ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
                    bumi, yang disebut tanah, …”. Maka tafsiran dogmatis atas
                    rumusan norma ini, adalah tanah merupakan objek hak yang
                    ditentukan secara limitatif  jenis-jenisnya  dalam Pasal 16.
                    Kemungkinan timbulnya kesulitan karena definisi tanah yang
                    sempit itu,  umumnya   disebabkan   oleh  kekeliruan   serta
                    kesalahan   tafsir  atas pengertian tanah.
                       Konsep    tanah  yang   sempit   itu,  menyebabkan
                    kebingungan menetapkan jenis hak atas bangunan bertingkat
                    yang terbagi-bagi dalam  kotak-kotak  ruangan  kubus yang
                    hendak dijual kepada orang lain. Pertanyaannya adalah,
                    dapatkah  kotak-kotak  kubus   ruangan  yang   terpisah-
                    pisah  namun  terkait dalam  satu  kesatuan  gedung  dan
                    tidak    melekat    langsung   dengan    kuat  dengan  tanah itu,
                    dipisah-pisahkan dan diserahkan dengan hak kebendaan
                    untuk  dimiliki  dengan  hak  milik?  Pertanyaan  hukum  ini,
                    semula membingungkan mencari landasan filosofi hukumnya
                    di negara-negara penganut  hukum  sipil  (Civil  law)  maupun
                    komon  (Common law)  yang mengenal ajaran ‘pelekatan’
   275   276   277   278   279   280   281   282   283   284   285