Page 287 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 287
260 Herman Soesangobeng
pun, tidak diakukan dengan lembaga jual beli, melainkan
cukup dengan jalan mencabut izin penggunaan tanah
oleh pejabat Departemen Dalam Negeri (Departement
van Binnenlandsch Bestuur), disertai pembayaran ganti rugi
(schadeloosstelling) kepada pemegang hak ‘landerijenbezitsrecht’.
Model ini digunakan, karena sekalipun golongan penduduk
klas II itu belum dipersamakan, namun mereka sudah berhak
melakukan sebagian perbuatan hukum berdasarkan hukum
perdata BW/KUHPInd.
7.1.c. Penduduk klas III:
Terhadap golongan penduduk klas III, karena sama
sekali tidak diakui hak kepemilikan perdatanya atas tanah,
tetapi secara nyata sudah menguasai dan menduduki serta
mengolah tanah milik Negara, maka mereka hanya diakui
hak atas hubungan keagrariaanya (rechts van agrarische
betrekkingen), untuk mengerjakan dan menikmati hasil
tanah dengan kewajiban membayar pajak ‘landrente’ kepada
Negara. Dengan demikian status hukum tanahnya tetap
merupakan tanah milik Negara (landsdomein), namun sedang
dibebani (bezwaard) oleh hak-hak adat (adatrecht) dengan
penguasaan serta pendudukan maupun pengolahan nyata
oleh penduduk klas III. Maka tanahnya lalu disebut ‘tanah
milik Negara tidak bebas’ (onvrij landsdomein), dan penduduk
klas III pun hanya memiliki hak agraria penggarapan tanah
yang disebut ‘bewerkersrecht’.
Untuk memperoleh kembali tanah milik Negara Hindia
Belanda dari penguasaan penduduk klas III dengan hak-hak
adatnya itu, pemerintah Belanda menciptakan satu lembaga
agraria yang disebut ‘gadai tanah alamiah’ (natuurlijke
grondverpanding). Lembaga ini diciptakan, karena Negara
Belanda tidak boleh melakukan hubungan jual beli tanah (grond
koop en verkoop) dengan penduduk klas III. Sebab penduduk
klas III tidak memiliki hak kepemilikan perdata atas tanah
dan juga tidak tunduk pada undang- undang hukum perdata