Page 291 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 291

264     Herman Soesangobeng

                 ada di atasnya (UU No. 20 tahun 1961), sebagai pelaksanaan
                 ketentuan  Pasal 18 UU No. 5/1960, adalah undang-undang
                 dan norma hukum yang melawan hukum dasar tentang hak
                 konstitusional WNI sebagai pemilik sebenarnya atas tanah
                 setelah kemerdekaan Indonesia.
                    Hal itu pun berarti bahwa asas  dan ajaran hukum
                 pertanahan serta keagrariaan  Indonesia,  dengan  UUD  1945,
                 tidak  mengenal  asas  maupun ajaran hak kekuasaan tertinggi
                 dari Negara sebagai pemilik tanah (dominium emminens)  atau
                 ‘right  of  emminent  domain’  seperti  dalam  hukum Anglo-
                 Saxon  Amerika.  Dengan  demikian,  perbuatan  hukum
                 Negara/Pemerintah RI untuk mendapatkan tanah dari WNI,
                 harus dilakukan dengan menggunakan lembaga  pemutusan
                 hubungan  hak  keperdataan  kepemilikan   tanah  yaitu
                 lembaga ‘jual beli’ tanah sebagai alasan sah menurut hukum
                 (rechtstitel) atau ‘alas hak’ perolehan serta penyerahan tanah.
                 Logika dan paradigma ini, adalah  akibat  hukum  logis  dari
                 ketentuan  dasar  konstitusional  Negara  RI bukan pemilik
                 malainkan  pengurus dengan kewajiban publik berdasarkan
                 hak ‘kepunyaan’ Negara.

            12.  Kedudukan hukum tanah milik masyarakat hukum adat:
                    Baik  masyarakat  hukum  maupun  hak-haknya   atas
                 tanah,  tetap  diakui Negara RI, dalam hal ini keberadaan
                 masyarakat hukum adat pun ditegaskan dalam UUD 1945.
                 Maka terhadap tanah-tanah  yang semula dimiliki  oleh
                 masyarakat persekutuan hukum adat, kemudian digunakan
                 oleh perusahaan maupun Negara, bisa dikembalikan menjadi
                 milik  masyarakat,  setelah masa  pemakaiannya  berakhir.
                 Nnamun penggunaan serta pemanfaatannya oleh masyarakat
                 hukum adat, harus diatur sesuai dengan ketetapan Pemerintah.
                 Ini berarti,  masyarakat  hukum  adat,  tidak  pernah  harus
                 kehilangan  apalagi dicabut   hak   kepemilikan   adatnya   oleh
                 Negara.   Asas   dan  ajaran   ini, bersumber pada ajaran ke-
                 enam dari Hukum Pertanahan Adat, yang sudah ditafsirkan
                 dan dilembagakan menjadi norma dasar konstitusional dalam
   286   287   288   289   290   291   292   293   294   295   296