Page 295 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 295

268     Herman Soesangobeng

            14.  Hapus konsep ‘hak ulayat Nasional’:
                    Konsep hukum adat ‘hak ulayat’ Mnangkabau yang dalam
                 UU No. 5/1960 diterjemahkan  sebagai  telah ditingkatkan
                 menjadi ‘ulayat  nasional’ , pun harus dihapus. Karena
                                          3
                 ‘hak  ulayat’  yang bersifat  lokal  kedaerahan  dalam sistim
                 hukum adat keibuan (matriarchaat) itu, tidak bisa dan tidak
                 boleh ditingkatkan menjadi lembaga hukum  Nasional RI
                 sehingga menjadi berlaku juga terhadap semua daerah hukum
                 adat di Indonesia yang menganut sistim hukum kebapaan
                 (patriarchaat) dan ibu-bapak (double unilateral atau parentaal).
                 Maka  perlu  diganti  dengan  istilah  bahasa  hukum  adat
                 yang dipahami dalam semua sistim hukum adat di Indonesia
                 yaitu ‘hak adat’ atau ‘tanah adat’.
            15.  Hapus konsep  dan lembaga  penjarahan tanah (grond
                 depossedering):
                    Berdasarkan  teori  ‘de  facto-de  jure’,  dan kedudukan
                 hukum Negara RI yang secara konstitusional bukan pemilik
                 tanah, maka penguasaan dan pendudukan  tanah oleh
                 WNI, bukanlah penjarahan atau penyerobotan tanah (grond
                 depossidering) sehingga disebut pemukim liar (wilde occupant),
                 melainkan   untuk membuktikan  hak hukumnya  menjadi
                 ‘pemilik nyata’ (de facto in concreto) atas tanah miliknya sendiri
                 yang sudah dimilikinya berdasarkan hukum secara ‘anggapan
                 yang  abstrak’ (de facto in  abstracto). Konsepsi dan lembaga
                 hukum  penjarahan  atau  penyerobotan (deposedering)  tanah
                 milik orang lain itu,  hanya berlaku dalam sistim Negara
                 berkedudukan hukum sebagai pemilik tanah tertinggi,
                 seperti halnya pada masa Hindia Belanda berdasarkan teori
                 ‘domeinverklaring’.
                    Maka pada  masa kolonial Belanda,  penduduk  orang
                 Indonesia Bumiputra,  sebenarnya adalah penjarah atau
                 penyerobot tanah milik Negara dan disebut pemukim  liar
                 (wilde  occupant)  atas  tanah  milik  Negara  Hindia  Belanda.

                3    Lihat rumusan Penjelasan Umum UU No. 5/1960 Bagian II (1).
   290   291   292   293   294   295   296   297   298   299   300