Page 293 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 293
266 Herman Soesangobeng
usaha atas pengolahan tanah kepunyaan masyarakat, yang
harus dibayarkan pemakai tanah kepada masyarakat hukum
adat . Rasa keadilan inilah yang diabaikan Pemerintah RI
2
ketika mengambil tanah milik masyarakat hukum adat,
sehingga sering timbul sengketa pengembalian kembali tanah-
tanah yang digunakan Negara maupun badan usaha swasta
Penafsiran dan paradigma hukum terhadap masyarakat
hukum dan hak atas tanahnya seperti di atas ini, adalah akibat
hukum logis dari teori ‘de facto-de jure’ yang menggantikan
teori ‘eigendom’ BW/KUHPInd. Dan ‘domeinverklaring’. Karena
masyarakat hukum adat yang mempunyai tanah sebagai
‘milik’ dengan hak ‘kepunyaan’ adat, tidak pernah hapus
dan berakhir, sekalipun tanah dikuasai untuk diusahakan
dan diambil hasilnya oleh sebagian warga masyarakat
apalagi oleh orang asing. Dalam konteks Negara, maka
tafsiran makna logika hukum dengan paradigma adat atas
lembaga ‘retributie’ atau ‘recognitie’ itu, adalah satu bentuk
pembayaran dari pembagian hasil usaha perusahaan, yang
harus dibayarkan kepada masyarakat hukum adat sebagai
organisasi persekutuan. Jadi bukan kepada orang-orang
pribadi yang mewakili masyarakat, dalam hal ini bentuk
pembayarannya dinilai warga masyarakat hanya dinikmati
orang-orang secara pribadi sendiri saja.
Tetapi tanah masrasakat yang digunakan untuk
2 Van Vollenhoven, menjelaskan arti ‘retributie’ sebagai sifat
norma dasar ke tiga (3) dari Hukum Pertanahan Adat Indonesia
(beschikkingsrecht), dalam bentuk pembayaran yang hanya kadang-
kadang dikenakan kepada warga masyarakat hukum, tetapi wajib
kepada orang asing, yang dikenal sebagai lembaga ‘isi adat’, ‘sewa bumi’,
‘sewa utan’, ‘bunga pasir’, ‘sewa sungai’, ‘sewa lebak lebung’, ‘rahe koton’,
dan sebagainya. Istilah ‘retributie’ itu, kemudian dalam tulisan Van
Vollenhoven, “De Indonesier en zijn grond”, pada 1919, menggunakan istilah
‘recognitie’, dalam pengertian yang sama dengan ‘retributie’ yaitu kewajiban
membayar atas ‘keuntungan dari hasil tanah’ (…het profiteeren van dien
grond…). Jadi bukan dalam pengertian membayar biaya administrasi
yang disebut ‘uang pemasukan’ kepada Negara, seperti tafsiran pejabat
Negara RI; melainkan laba usaha, terhadap hasil usaha agraria atas tanah
kepunyaan masyarakat hukum adat.