Page 289 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 289
262 Herman Soesangobeng
hak milik melalui pendaftaran hak milik ‘de facto in concreto’
menjadi hak milik ‘de jure’. Untuk hak agraria, Negara RI
hanya berhak menerbitkan izin penggunaan tanah dengan
‘hak pakai’ baik untuk selama waktu tertentu ataupun selama
masih digunakan. Terhadap kedua jenis hak pakai ini, setelah
berakhir masa berlaku hak pakainya, maka tanah kembali
menjadi tanah yang dikuasai Negara dengan kewajiban
publiknya, dan wenang memberikan izin pemakaian terhadap
WNI atau WNA yang berkeinginan mengelolanya.
9. Tidak ada tanah ‘langsung’ dan ‘tidak langsung’ dikuasai
Negara:
Konsekwensi hukum langsung dari kedudukan Negara
bukan pemilik tanah, melainkan sebagai penguasa tertinggi
yang menguasai untuk mengatur penyediaan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah bagi kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia, adalah hapusnya konsep tanah yang ‘langsung’
dan ‘tidak langsung’ dikuasai Negara RI. Pengertian ‘tanah
Negara’ seharusnya diterjemahkan dan diartikan bukan dalam
konteks teori hak milik ‘eigendom’ privat BW/KUHPInd. dan
‘domeinverklaring’, melainkan dengan teori kepemilikan ‘de
facto-de jure’. Konsep hukum tanah Negara ‘langsung’ dan
‘tidak langsung’ itu, bersumber pada teori kepemilikan hak
keperdataan ‘eigendom’ BW/KUHPInd. dan teori hukum
agraria Negara Belanda ‘domeinverklaring’ yang diterapkan di
Indonesia. Maka dengan berubahnya kedudukan hukum
Negara yang bukan pemilik tanah, maka konsep tanah
Negara ‘langsung’ dan ‘tidak langsung’ itupun sudah
tidak berlaku lagi.
Maka penggunaan istilah hukum tanah Negara yang
‘dikuasai langsung’ dan ‘tidak langsung’, menjadi tidak
memiliki dasar hukum, bahkan bertentangan dengan
filosofi dasar hak konstitusional Negara RI dalam Pasal 33
UUD 1945, yang diterjemahkan dalam Pasal 2 UUPA 1960
menjadi ‘hak menguasai dari Negara’ (HMDN). Dengan