Page 296 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 296
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 269
Namun, secara resmi atau legal, sebutan ‘deposedering’ itu
tidak pernah digunakan pemerintah, walau disebutkan dalam
beberapa peraturan agraria, yang menerjemahkan hukum
pertanahan BW/KUHPInd. Maka konstruksi anggapan
hukumnya adalah menyatakan secara diam-diam bahwa
penduduk Bumiputra adalah ‘pemegang gadai’ atas tanah
milik Negara Hindia Belanda. Demikianlah maka tanah milik
Negara Hindia Belanda pun dibedakan antara tanah milik
Negara bebas (vrij landsdomein) dan yang tidak bebas (onvrij
landsdomein), karena diduduki dan dikuasai orang Indonesia
penduduk Bumiputra yang tunduk pada Hukum Adat mereka
sendiri. Konsep penyerobotan tanah (deposedering) dengan
pemukim liar (wilde occupant) itu, hanya beralku terhadap
tanah-tanah milik ‘eigendom’ pribadi atau atas tanah dalam
area hak ‘erfpacht’ perkebunan ataupun ‘recht van opstal’ orang
Belanda, Eropah dan Timur Asing. Sedangkan terhadap tanah
milik Negara (landsdomein), dikatakan bukan penyerobotan
tanah, melainkan menduduki dengan hak pegang gadai tanah
(grond verpanding) .
4
Berdasarkan konsepsi hukum ‘pegang gadai’ tanah
inilah, maka pemerintah kolonial Belanda, ketika akan
memperoleh kembali tanah miliknya, harus melakukannya
dengan model ‘penebusan’ (afkopen) kembali tanah milik
Negara. Perbuatan hukum itulah yang melahirkan lembaga
‘penebusan tanah’ (afkopen) yang salah diterjemahkan menjadi
‘pembebasan tanah’, disertai pembayaran ‘uang tebusan’
(afkoopsom), yang juga disalah-artikan dengan terjemahan
‘ganti rugi’.
Dengan pembayaran ‘uang tebusan’ kepada orang
Bumiputra yang menduduki tanah dengan hak hukum
adatnya, maka secara hukum diartikan bahwa tanah milik
Negara Hindia Belanda itu sudah bebas dari ikatan
4 Cf. Maasen C.C.J. en A.P.G. Hens, Agrarische Regelingen voor het
Gouvernementgebied van Java en Madoera, Deel II, Batavia: Grukk Ruygrok
& Co., 1934, hlmn. 564-565.