Page 301 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 301
274 Herman Soesangobeng
(binnenlands bestuur ambtenaar), untuk melihat daerah
‘hutan belukar’ (woeste grond) sebagai tanah kosong tidak
berpenghuni orang Bumiputra, adalah tanah milik Negara
bebas (vrij landsdomein), pun hapus dan tidak berlaku lagi.
Jiwa dari teori ‘hutan belukar’-nya Nols Trenite,
bagi penegakkan ajaran dari teori ‘domeinverklaing’ dalam
penegakkan hukum agraria kolonial Belanda itulah, yang
masih diterapkan secara tidak sadar, oleh Kementerian
dan Departemen Kehutanan terhadap WNI. Tebukti dari
adanya peraturan agraria oleh Kementerian dan Departemen
Kehutanan yang melarang WNI mendaftarkan haknya
atas tanah didalam kawasan hutan. Jadi Kementerian dan
Departemen Kehutanan pun harus sadar, untuk merubah
ketentuan keagrariaannya, agar mematuhi filosofi, asas,
ajaran maupun teori Hukum Pertanahan Indonesia dengan
logika dan paradigma kepemilikan tanah ‘de facto-de
jure’. Hanya dengan cara itu, Kementerian dan
Departemen Kehutanan bisa membuktikan penghargaan dan
penghormatannya dalam penegakkan Hak Asasi Warga
Negara Indonesia (HAWNI) dan tidak melanggar Hak
Asasi Manusia (HAM), dalam penegakkan peraturan hukum
agrarianya di bidang Kehutanan.
19. Penataan administrasi pertanahan dan keagrariaan/
agraria:
Penataan lembaga untuk mengatur hak atas tanah dan
agraria, dilakukan sebagai berikut. Hak atas tanah yaitu
hak milik, ditetapkan dengan keputusan pejabat hukum
pada lembaga Negara Badan Pertanahan Nasional
RI di bawah kendali Kementerian Pertanahan, melalui
keputusan Kepala Kantor Pertanahan dalam Sertipikat
Hak Milik. Sedangkan keputusan penetapan hak agraria,
diberikan menjadi kewenangan hukum dari pelbagai lembaga
administrasi Negara menurut kewenangan bidang usahanya
untuk mengatur ketertiban penguasaan serta penggunaan