Page 306 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 306
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 279
dalam hukum Romawi dan diadopsi hukum BW/KUHPInd.
menjadi ‘juridische levering’.
Jadi blanko akta jual beli yang dibuat pejabat PPAT, harus
memuat pernyataan tegas bahwa dengan ditandatanganinya
AJB, berarti penjual juga telah menyerahkan tanah kepada
pembeli serta haknya pun dialihkan penjual kepada pembeli.
Bilamana pembayaran harga jual beli masih belum lunas
karena pembayaran dilakukan dalam bentuk angsuran, maka
akta AJB-nya bisa tetap disimpan di kantor PPAT atau
dipegang oleh penjual, sampai angsuran pelunasan terakhir
dibayarkan pembeli, barulah akta AJB diserahkan kepada
pembeli. Hal ini diperlukan, sebab perbuatan hukum
tunai, harus sudah selesai dilakukan, tanpa kaitannya
dengan cara dan bentuk pembayarannya. Juga dengan cara
penahanan AJB maka dapat dihindarkan terjadinya jual beli
semu, dalam hal ini tanah yang sudah dijual tetapi masih
dalam pembayaran angsuran yang belum lunas, dijual lagi
kepada orang lain dengan bukti AJB yang dipegang pembeli.
Bahkan penjual pun bisa dengan bebas membatalkan
perjanjian, bilamana pembeli tidak melunasi angsuran
pembayarannya. Atau sebaliknya pembeli dapat menuntut
ganti rugi, apabila penjual menjual tanahnya kepada orang
lain
23. Kesalahan tafsir syarat ‘tunai-terang’ dalam pembuatan Akta
Jual Beli Persyaratan ‘tunai-terang’ itu telah disalahtafsirkan
dalam merumuskan peraturan jabatan PPAT, sehingga
menimbulkan kesalahan praktek pembuatan akta jual
beli (AJB). Kesalahan terjadi utamanya dalam penafsiran
arti ‘tunai’, sehingga peraturan pelaksanaan tugas PPAT
menetapkan bahwa peralihan hak dan penyerahan tanah,
terjadi serentak pada saat ditandatanganinya ‘akta jual beli’
tanah (AJB) oleh pejabat PPAT. Jadi bilamana pembayaran
dalam jual beli tanah yang termasuk jual lepas, namun harga
jualnya tidak dilakukan secara tunai, maka tidak boleh
dibuatkan akta jual beli (AJB). Untuk mengatasi kesulitan