Page 311 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 311

284     Herman Soesangobeng

                 karena  mengerjakan  dan  menikmati  hasil  tanah  milik
                 Negara Belanda.
                    Kedudukan  Negara Belanda  menjadi  pemilik  tanah itu
                 berdasarkan teori ‘domeinverklaring’. Jadi melalui teori ‘de
                 facto-de jure’ dalam hal ini semua WNI adalah pemilik tanah,
                 berarti  konstruksi  hukum  mengerjakan  tanah  orang  lain,
                 tidak  lagi  disebut  ‘penggarap’   melainkan  ‘pekerja  bergaji’.
                 Karena  itu, bilamana masih digunakan istilah ‘penggarap’,
                 berarti malanggar hukum baik atas HAWNI maupun HAM.
                 Karena  Undang-Undang Pertanahan,  tidak  mengenal  lagi
                 hubungan  ‘penggarapan’  tanah,  sebab  dasar  hukum  bagi
                 adanya  penggarapan  tanah  milik  Negara  Hindia  Belanda,
                 sudah  hapus karena Negara RI  bukanlah pemilik  tanah
                 tertinggi. Juga dengan penegakkan teori  ‘de  facto-de  jure’  ini
                 pun  adalah  untuk  mewujud-nyatakan  ketentuan Pasal 13
                 ayat 4 UUPA 1960, untuk memajukan kepastian hukum dan
                 jaminan social di bidang agraria. Jadi lembaga ‘penggarapan’
                 tanah oleh WNI, harus dihapus dan digantikan  dengan
                 lembaga ‘perjanjian kerja’.

            27.  Pejabat Pembuat Akta Tanah:
                    Alat bukti bagi adanya perbuatan  hukum  perjanjian tanah
                 berdasarkan ‘alasan  sah’  adalah  akta  tanah  yang  dibuat
                 oleh   Pejabat   Pembuat    Akta  Tanah    (PPAT)    profesional
                 dan  tidak  boleh  merangkap   jabatan  sebagai Notaris
                 maupun Camat. Kekhususan  pejabat PPAT profesional
                 ini,  adalah karena  hukum  pertanahan  dan  keagrariaan
                 Indonesia menurut Undang-Undang  Pertanahan, adalah
                 Hukum Pertanahan Adat yang sudah diterjemahkan kembali
                 dan disesuaikan dengan filosofi Pancasila serta UUD 1945,
                 dengan teori penegakkan ‘de facto-de jure’, menyebabkan dasar
                 tugas kerja Notaris yang bersumber pada hukum perdata BW/
                 KUHPInd. dan juga Camat   yang   bersumber   pada  praktek
                 administrasi   keagrariaan   Hindia Belanda,  menjadi  tidak
                 lagi memiliki  kekuatan  hukum berlaku.  Karena itu, pejabat
   306   307   308   309   310   311   312   313   314   315   316