Page 313 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 313

286     Herman Soesangobeng

                 1848 melalui asas konkordansi  diberlakukan KUHPInd., lalu
                 dipertegas pada 1870 dengan permakluman hak kepemilikan
                 negara (Staats eigendom) melalui Agrarisch Wet dan Agrarische
                 Besluit 1870  lewat teori  ‘domeinverklaring’,  dan dilanjutkan
                 pada 1925 oleh Negara Hindia Belanda melalui  Pasal 51 IS,
                 hingga kini. Sejarah panjang berlakunya filosofi, asas, ajaran,
                 dan teori ‘eigendom-privaat’ serta ‘domeinverklaring’ ini, masih
                 terus dipatuhi dan diterapkan oleh Negara dan Pemerintah RI
                 terhadap penduduk orang  Bumiputra, yang sejak 17 Agustus
                 1945  telah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), sebagai
                 satu bangsa merdeka  dan  berdaulat  atas tanah miliknya
                 dalam Negara Kesatuan RI (NKRI).
                    Kedua  teori  dengan  filosofi,  asas dan  ajaran hak
                 kepemilikan ;eigendom’ itu, sama sekali tidak menghargai
                 bahkan menghapus hak keperdataan penduduk  Bumiputra
                 atas  tanah  miliknya.  Akibatnya,  perolehan  kembali tanah
                 milik Negara Belanda yang dikuasai dan dimanfaatkan
                 penduduk  Bumiputra,  harus dilakukan melalui proses
                 ‘pembebasan tanah’ (afkopen) disertai  ‘pembayaran uang
                 tebusan’  (afkoopsom),  lalu diserahkan  kembali  menjadi
                 sepenuhnya milik negara, melalui lembaga ‘pelepasan hak’
                 (prijsgeving). Karena itu, Pemerintahan  Negara Kolonial
                 Belanda, tidak boleh  melakukan perolehan kembali tanah
                 miliknya sendiri dari penguasaan orang Bumiputra  dengan
                 menggunakan  lembaga  jual beli tanah (grond koop en verkoop
                 beginsel) dari penduduk Bumiputra. Karena Negara Belanda
                 adalah pemilik  tanah  sebenarnya,  sedangkan  penduduk
                 Bumiputra  adalah penggarap (bewerker) tanah milik Negara
                 Belanda.
                    Jadi, tidak layak dilakukan pemutusan hak keperdataan
                 orang Bumiputra  melalui  hubungan hukum  lembaga jual
                 beli (koop en verkoop verhoudingen) oleh  Pemerintah  Belanda.
                 Perlakuan  dan  penggunaan  lembaga   dengan logika dan
                 paradigma  hukum  kolonial Belanda  inilah  yang dihapus
                 melalui teori hukum kepemilikan tanah ‘de facto-de jure’. Karena
   308   309   310   311   312   313   314   315   316   317   318