Page 329 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 329
302 Herman Soesangobeng
seorang ahli antropologi hukum, menawarkan satu teori
model ‘pelembagaan kembali’ (reinstitutionalization) dan
‘pelembagaan ganda’ (double institutionalization). Kedua teori
model pelembagaan kembali ini, menjelaskan bagaimana
keragaman hukum adat suku-suku penduduk lokal,
dilembagakan kembali atau dilembagakan untuk ke dua
kalinya ke dalam sistim hukum Negara nasional, sehingga
berlaku sah dalam seluruh wilayah Negara dan terhadap
segenap warga Negaranya.
Bohannan , tidak menjelaskan, baik pengertian maupun
12
metoda penggunaannya kedua model pelembagaan itu. Maka
berdasarkan uraian penjelasan dari tulisan-tulisan Bohannan,
penulis berkesimpulan bahwa pengertian kedua lembaga
‘pelembagaan kembali’ itu, penggunaannya dapat dirumuskan
sebagai berikut. Pelembagaan kembali (reinstitutionalization),
adalah proses memberlakukan kembali lembaga hukum
adat yang diputuskan lembaga atau pejabat Negara, untuk
diberlakukan di dalam sistim hukum nasional, sehingga bisa
berlaku sah secara nasional dalam seluruh wilayah Negara
terhadap segenap warga negara. Pelembagaan kembali itu,
hanya terhadap lembaga hukumnya, yang namanya bisa sama
dengan nama adatnya atau bisa juga berbeda.
Misalnya pelembagaan kembali lembaga hukum
pertanahan dan keagrariaan adat Minangkabau yang disebut
‘hak ulayat’. Lembaga ‘hak ulayat’ itu, dilembagakan kembali
melalui Pasal 3 UU No. 5/1960 dengan istilah yang sama yaitu
‘hak ulayat’. Akan tetapi isi makna konsep hukum adatnya,
tidak ikut dilembagakan ke dalam sistim hukum agraria
nasional. Karena sumber dasar filosofi lahirnya ‘hak ulayat’,
tidak ikut dilembagakan kembali. Filosofi dasar lahirnya ‘hak
ulayat’ yaitu pada tanah warisan leluhur pembuka hutan asal,
Chicago: Aldine Publishing Company, 1965, hlmn. 33-44.
12 Cf. Paul Bohannan, ed. “The differing realms of the law”, dlm.
Law and Warfare: Studies in Anthropology of Conflict, Austin and London:
University of Texas Press, 1980.