Page 334 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 334

Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum ....     307


                    ‘surat pernyataan/keterangan waris’ dalam Pasal 111 PMNA/
                    KBPN No.  3/1997,  harus  diubah,  sebab masih  menganut
                    politik pemisahan penduduk Negara Hindia Belanda. Karena
                    itu, pengakuan dan penghargaan atas keberadaan masyarakat
                    hukum dengan hak-hak atas tanah  adatnya pun, haruslah
                    ditegakkan sesuai dengan politik hukum UUD 1945 tentang
                    Hak Asasi WNI atas tanah.

               9.   Kekeliruan tafsir yang melanggar HAWNI:
                       Contoh kekeliruan  tafsir yang melanggar ‘hak-hak asasi
                    warga Negara Indoneisa’ (HAWNI) itu, selain terhadap
                    konsep hukum tentang kewargaan Negara NKRI, juga pada
                    penggunaan lembaga ‘pengakuan hak ulayat’ yang  disebut
                    ‘recognitie’, dalam pemberian dan perolehan hak atas tanah
                    oleh Negara terhadap WNI. Pengakuan kekuasaan masyarakat
                    hukum itu, setelah berlakunya  UUPA  1960,  diterjemahkan
                    menjadi  sama  dengan  lembaga hukum  pengakuan  dan
                    penghargaan  atas  hak Negara.  Bentuknya  adalah pembayaran
                    ‘uang  pemasukan’  kepada Negara.  Kekeliruan penerjemahan
                    ‘recognitie’  menjadi  ‘uang  pemasukan’  itu,  didasarkan  pada
                    dua anggapan dasar keliru yaitu: pertama,  atas sifat khas
                    ajaran hukum pertanahan adat (beschikkingsrecht) nomor  tiga
                    tentang  kewajiban  membayar ‘retributie’ berupa pembagian
                    hasil usaha atas tanah masyarakat hukum, yang diterjemahkan
                    sebagai pengakuan atas hak kekuasaan  masyarakat  hukum.
                    Kedua, karena tafsiran UUPA 1960  terhadap kedudukan
                    hukum  ‘hak  ulayat’  daerah,  yang ditingkatkan  menjadi
                    ‘ulayat nasional’ dengan nama ‘hak menguasai  dari  negara’
                    (HMDN).  Maka  dikembangkanlah  norma  hukum berupa
                    kewajiban   membayar   ‘uang  pemasukan’   kepada   Negara,
                    atas perolehan hak atas tanah oleh WNI maupun  instansi
                    Pemerintah dan Pengusaha Swasta atas ‘tanah Negara’.
                       Kesalahan tafsirnya adalah, karena tidak paham bahwa
                    ketentuan nomor tiga (recognitie) itu, hanya diperlukan untuk
                    mengambil hasil tanah dan menikmatinya oleh orang asing
   329   330   331   332   333   334   335   336   337   338   339