Page 65 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 65

38     Herman Soesangobeng

                 Negara Belanda atas tanah miliknya serta hubungan
                 keagrariaan  mereka di Indonesia.  Terhadap penduduk
                 lainnya, tidak banyak diatur sebab tujuan penguasa Belanda
                 hanya untuk menjamin keamanan perolehan tanah untuk
                 diolah serta digunakan  bagi perolehan hasil bumi  yang
                 laku dijual di Eropah. Jadi yang utama ditegakkan adalah
                 Hukum Agrarianya, yang harus diberlakukan terhadap semua
                 golongan penduduk di Indonesia.
                    Politik  pertanahan  dan  keagrariaan  penguasa Belanda
                 demikian  itu, ternyata menimbulkan  kendala berupa
                 kesulitan  mendasar  dalam  memastikan  siapa  pemilik
                 sebenarnya  atas tanah, sehingga layak diberlakukan sebagai
                 subjek hukum pemegang hak keperdataan atas tanah. Kendala
                 dan kesulitan itu dialami  penguasa Belanda, utamanya
                 dalam hubungan  perolehan  tanah  dari  penguasa-penguasa
                 penduduk  pribumi seperti  para  Raja  di  Jawa  maupun
                 para  kepala  Desa  ataupun  Bupati. Penguasa Belanda, sejak
                 menjadi Bataavse Republiek pada tahun 1619, menginginkan
                 agar penguasa Belanda bisa mendapatkan  alasan hukum
                 sah (rechts titel) untuk menetapkan bahwa mereka sebagai
                 penguasa yang mewakili  Negara  Belanda,  sehingga  berhak
                 menjadi  pemilik  tanah  seperti diatur dalam Hukum Perdata
                 Belanda/BW yaitu Negara adalah pemilik  tanah di Jawa-
                 Madura. Alasan hukum sah (rechts titel) itu oleh penguasa
                 Belanda  pada  saat  itu  yang  disebut  ‘Heeren  XVII’  (Tuan-
                 tuan  XVII),  adalah  dengan  menggunakan  ajaran  hukum
                 Romawi tentang ‘daerah taklukan’ yang dalam istilah bahasa
                 Belanda disebut  ‘gekonquesteert  gebied’.  Konsep ini  dianut,
                 sejak 1619 ketika Raja kecil Jacatra (kini Jakarta) ditaklukan
                 VOC, dan selanjutnya  memperluas   daerah kekuasaannya
                 sampai  meluas ke seluruh Jawa-Madura 28.  Konsep  ‘daerah
                                                     2
                 taklukan’  itu  pun  dibenarkan  dari  hasil panitia  penelitian
                 agraria  yang  dalam  kesimpulan  akhirnya  menyatakan

                2    R.  Roestandi  Ardiwilaga,  Hukum  Agraria  Indonesia:  Dalam  Teori
            dan Praktek, Bandung- Jakarta: N.V. Masa Baru,1962, hlmn. 115.
   60   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70