Page 67 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 67
40 Herman Soesangobeng
(Netherlands Oost- Indië) pada 1925.
Setelah berdirinya Hindia Belanda (HB) sebagai Negara
dengan undang-undang dasarnya yang disebut Indische
Staatsregeling (IS) berlaku sejak 1 Januari 1925, maka
pengaturan dan penegakkan Hukum Pertanahannya yang
bersumber pada BW/KUHPInd., diarahkan tidak hanya untuk
menjamin perolehan tanah bagi kepentingan pengusaha besar
Belanda, melainkan juga kepada penguasaan wilayah dan
pengamanan teritorial Negara. Dengan lain perkataan, politik
pertanahan Hindia Belanda tidak hanya untuk menegakkan
Hukum Agraria, malainkan juga penegakkan Hukum
Pertanahannya. Maka politik agrarianya pun disesuaikan
dengan perkembangan baru, dalam hal ini bukan Negara
yang mengusahakan tanah melainkan pengusaha besar
Belanda, walaupun ideologi Negara tetap merupakan ‘Negara
pedagang’ (Mercantile state) 29.
3
3. Hukum agraria dipertegas dalam Pasal 51 IS di
samping Hukum pertanahan BW/KUHPInd. :
Hak-hak atas hubungan keagrariaan dalam Negara
Hindia Belanda, tetap terus dipertahankan, dengan jalan
mengadopsi norma-norma keagrariaan Agrarisch Wet 1870
menjadi Pasal 51 IS 1925. Jadi tidak hanya penegakkan
Hukum Agraria saja yang ditegakkan, melainkan juga Hukum
Pertanahan yang berada dalam BW/KUHPInd. Untuk itu,
baik paradigma maupun cara menafsirkan Hukum Agraria
dan Pertanahan, diubah untuk disesuaikan dengan sistim
pemerintahan yang berorientasi baru, yaitu pada pengamanan
penguasaan wilayah teritorial Negara dengan pengembangan
perkebunan (cultures) serta badan usaha perdagangan (handles
maatschapij). Perubahan paradigma dengan cara menafsirkan
hukum itu, dipertegas oleh Pemerintah melalui pembentukan
sistim Pemerintahan dengan pembentukan organisasi Negara
3 J.C van Leur, Indonesian State and Society: Essays in Asian Social and
Economic History, The Hague: W van Hoeve, 1955.