Page 76 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 76
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 49
Belanda yang tidak memberlakukan undang-undang hukum
perdata BW/KUHPInd. terhadap orang Bumiputra, disertai
politik pemisahan kependudukan (bevolkings politiek), termasuk
politik persamaan kedudukan sosial dengan orang Eropah
(gelijkgestelde politiek). Maka hubungan perolehan tanah milik
‘eigendom’ Negara yang tidak bebas (onvrij landsdomein), tidak
boleh dilakukan melalui pemutusan hubungan keperdataan
berupa perbuatan hukum jual beli (koop en verkoop) tanah
dengan penduduk Bumipura. Alasan hukumnya, adalah
karena orang penduduk Bumiputra, tidak berhak memiliki
hak keperdataan ‘eigendom’, sehingga tidak ada kesetaraan
kedudukan hukum perdata maka tidak boleh dilakukan
pemutusan hubungan keperdataan dengan menggunakan
lembaga hukum perdata Belanda yaitu ‘jual beli’ (koop en
verkoop).
Dengan demikian, sekalipun ada peraturan undang-
undang tentang pencabutan hak milik ‘eigendom’ yaitu
‘onteigeningsordonantie’ (S. 1920-No. 574 jo. Pasal 133 IS
1925), namun pemberlakuannya terhadap orang Bumiputra
haruslah diterapkan sesuai dengan peraturan Hukum
Agraria. Peraturan pencabutan hak milik ‘eigendom’ itu pun,
tidak pernah diberlakukan terhadap hak milik ‘eigendom’
orang Belanda, Eropah maupun Timur Asing. Karena itu,
undang-undang tentang pencabutan hak milik ‘eigendom’ itu
digolongkan ke dalam peraturan Hukum Agraria.
Penggunaan undang-undang pencabutan hak milik,
ketika diterapkan terhadap tanah milik Negara yang dikuasai
serta diduduki orang Bumiputra, dilakukan dengan model
konstruksi hukum ‘afkopen’ seperti pada lembaga gadai
untuk penebusan kembali harta milik yang digadaikan.
Maka selain tanah harus dibebaskan dari penguasaan dan
pendudukan orang Bumiputra, juga hak adatnya pun harus
dilepaskan, sebelum tanah diserahkan kembali kepada
Negara sehingga sepenuhnya menjadi tanah milik Negara
bebas (vrij landsdomein). Karena perolehan tanah milik