Page 77 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 77
50 Herman Soesangobeng
Negara yang tidak bebas itu tidak bisa dilakukan melalui
hubungan jual beli tanah, maka ahli hukum Hindia Belanda
menciptakan suatu bentuk hukum (juridisch constructie) yang
disebut ‘afkopen’.
Perbuatan hukum ‘afkopen’ itu merupakan penebusan
kembali tanah dalam hubungan gadai tanah (grond verpanding).
Maka uang tebusan gadainya disebut ‘afkoopsom’. Proses inilah
yang disebut ‘pelepasan hak’ dan ‘pembebasan tanah’ dari
kekuasaan serta pendudukan oleh orang Bumiputra. Artinya,
orang Bumiputra harus ‘melepaskan’ hak hukum adatnya,
dalam hal ini ‘pembebasan tanah’ adalah pembersihan tanah
dari pendudukan maupun penguasaan orang Bumiputra,
termasuk tanam tumbuh miliknya. Setelah itu, baru tanah
diserahkan kepada Negara menjadi tanah Negara bebas
(vrij landsdomein). Dengan demikian, tanah milik Negara
yang tidak bebas (onvrij landsdomein), dibebaskan menjadi
tanah Negara bebas (vrij landsdomein), dari penguasaan serta
pendudukan orang Bumiputra termasuk pembersihan tanam
tumbuhnya, serta pelepasan hak adat atas tanahnya, baru
tanah diserahkan menjadi sepenuhnya milik Negara Hindia
Belanda.
Lembaga ‘afkopen’ itu keliru diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi ‘pembebasan tanah’, dan ‘afkoopsom’
pun keliru diterjemahkan menjadi ‘ganti rugi’. Padahal dalam
pemutusan hubungan hak keperdataan, menurut hukum BW/
KUHPInd., melalui perbuatan jual beli (koop en verkoop), uang
pembayaran harga pembeliannya disebut ‘koopsom’. Adapun
untuk konstruksi ‘pencabutan hak milik’ (onteigening), uang
pembayarannya disebut ‘compensatie’ yaitu pembayaran
kesetaraan nilai harga jual bilamana tanah dibeli melalui
hubungan jual beli. Uang ‘compensatie’ (kompensasi) itulah
yang layak diterjemahkan menjadi ‘ganti rugi’. Sedangkan
untuk ‘afkoopsom’ seharusnya bukan ‘ganti rugi’ melainkan
‘uang tebusan’. Jadi telah terjadi kekeliruan penerjemahan
istilah bahasa hukum Belanda bagi perbuatan hukum