Page 103 - Relasi Kuasa: Dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan
P. 103
94 Aristiono Nugroho, Suharno, dan Tullus Subroto
menjabat kepala desa, ia toleran terhadap pendatang (orang dari
luar Desa Prigelan) yang ingin menetap di Desa Prigelan. Bagi
orang-orang seperti ini, diperkenankan membeli bidang tanah
kering di Desa Prigelan, untuk dijadikan tempat tinggal. Hanya saja
Jumari menjelaskan, bahwa di Desa Prigelan berlaku aturan tentang
pologoro (pungutan desa) bagi jual beli bidang tanah. Pologoro yang
dipungut untuk mengisi kas desa ini memiliki ketentuan, bahwa bila
pembeli bidang tanah adalah penduduk asli (anggota masyarakat
Desa Prigelan) dikenakan pologoro sebesar 5 %. Tetapi bila
pembeli bidang tanah adalah bukan penduduk asli (bukan anggota
masyarakat Desa Prigelan) dikenakan pologoro sebesar 10 %.
Perbedaan besaran pologoro bagi penduduk asli Desa Prigelan
dan bagi pendatang. tidak serta merta dapat dinilai sebagai sesuatu
yang bertentangan dengan keadilan. Sebaliknya, hal ini dapat
dipandang sebagai jurus membela keadilan, ketika penduduk asli
yang lemah secara finansial dilindungi dari “serangan” pendatang yang
kuat secara finansial. Dengan demikian perbedaan besaran pologoro
memperlihatkan tipe pengambilan keputusan atau kebijakan yang
mengutamakan keadilan. Hanya saja kebijakan ini perlu dibangun
dalam konstruksi yang inovatif dengan memanfaatkan beberapa
saluran komunikasi yang tersedia, misalnya dengan memberi
penjelasan ketika penduduk asli atau pendatang akan membayar
pologoro.
Sementara itu, Mardiyono memberi kesaksian, bahwa banyak
tanah di Desa Prigelan yang hampir lepas dari masyarakat Desa
Prigelan, pada waktu orang luar masih diperbolehkan membeli
bidang tanah di desa ini. Mardiyono menjelaskan, bahwa ketika
bidang tanah di Desa Prigelan masih dapat dibeli oleh orang dari luar
Desa Prigelan, maka penghasilan petani (masyarakat) Desa Prigelan
berkurang. Saat itu orang Prigelan hanya dapat menyaksikan