Page 124 - Relasi Kuasa: Dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan
P. 124
Relasi Kuasa dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan 115
Berdasarkan makna ini, maka pemenuhan kebutuhan petani
yang tidak memiliki tanah sawah, perlu dilakukan agar tidak timbul
perbedaan dramatis antara para pemilik tanah sawah dengan para
petani yang tidak memiliki tanah sawah. Upaya ini juga menciptakan
“politik ketenaga-kerjaan lokal” yang kemudian menjadi latar
belakang bagi strategi pertanahan, yaitu ketika mereka (penerima
hak garap atas tanah sawah seluas 60 ubin) diwajibkan ronda atau
jaga malam dan melakukan kerjabakti untuk kepentingan desa.
Dengan strategi pertanahan perbedaan dramatis dapat diredam,
dan para petani yang tidak memiliki tanah sawah tidak terlalu
cemburu atas fasilitas tanah sawah yang diterima oleh perangkat
Desa Prigelan. Sebagaimana diketahui, kepala desa saat menjabat
mendapat tanah bengkok seluas 3.000 ubin, serta kepala dusun dan
kepala urusan saat menjabat mendapat tanah bengkok seluas 500
ubin atau 1 bau. Pemilikan dan penggarapan tanah sawah merupakan
fenomena tingkat desa yang berhasil dikonstruksi oleh pemilik tanah
sawah dan Pemerintah Desa Prigelan, yang sekaligus sebagai respon
atas perbedaan dramatis yang pernah ada.
Fenomena tingkat desa diakui sebagai fenomena tingkat mikro,
yang berperan membentuk fenomena tingkat makro (tingkat
kabupaten), bila volume fenomena tingkat mikronya relatif besar
(terjadi di banyak desa). Sebaliknya, bila fenomena tingkat mikro
hanya terjadi di sebagian kecil dari desa-desa yang ada di kabupaten,
maka fenomena tingkat mikro tidak mampu berkontribusi besar
bagi pembentukan fenomena tingkat makro tang relevan.
Selain itu, pada tingkat mikro adakalanya upaya pemenuhan
kebutuhan petani yang tidak memiliki tanah sawah ditunda, ketika
masyarakat dan Pemerintah Desa Prigelan memiliki kebutuhan yang
juga dianggap penting. Hal ini terjadi ketika Suparno (Kepala Desa
Prigelan tahun 1986 – 2002) menganggap penting memasukkan