Page 125 - Relasi Kuasa: Dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan
P. 125
116 Aristiono Nugroho, Suharno, dan Tullus Subroto
listrik ke Desa Prigelan. Pada tahun 1987 Suparno memutuskan,
bahwa tanah buruhan atau tanah sawah yang digarap (dengan hak
garap) oleh petani yang tidak memiliki tanah sawah, perlu dijual
tahunan selama 1 (satu) tahun. Saat itu, tidak ada pilihan lain bagi
petani yang tidak memiliki tanah sawah (yang menggarap tanah
buruhan), selain menyetujui keputusan Suparno.
Meskipun ditentang secara diam-diam (tidak disuarakan) oleh
petani, tetapi Suparno beranggapan bahwa keputusannya memiliki
rasionalitas yang tinggi. Bagi Suparno, listrik merupakan suatu hal
penting bagi masyarakat Desa Prigelan, yang berpotensi menimbulkan
perilaku sosial yang lebih produktif. Perilaku ini bahkan berpotensi
menciptakan gerakan sosial masyarakat desa, yang dapat mengarah
pada pencapaian kesejahteraan. Meskipun untuk mencapai
kesejahteraan, Suparno sadar, tentang dibutuhkannya norma dan
tindakan yang relevan, serta pengorganisasian petani secara baik.
Norma, tindakan, dan pengorganisasian petani selanjutnya akan
meningkatkan bargaining position para petani di desa ini.
Suparno menjelaskan, bahwa tanah buruhan itu dijual dengan
harga Rp. 150.000,- per 60 ubin, sehingga terkumpul dana sebanyak
120 x Rp. 150.000,- = Rp. 18.000.000,-. Dana ini digunakan untuk
membiayai pembuatan jaringan, yang akan mengantarkan listrik
hingga masuk ke rumah-rumah penduduk (masyarakat Desa
Prigelan). Upaya ini berhasil, hingga akhirnya listrik PLN berhasil
dinikmati oleh masyarakat dan Pemerintah Desa Prigelan pada tahun
1988. Tetapi para petani penggarap tanah buruhan selama satu tahun
harus mencari alternatif pengganti atas kehilangan sementara hak
garapnya. Meskipun karena itu, selama satu tahun mereka tidak
dikenai kewajiban ronda malam dan kerjabakti bagi kepentingan
desa. Pada tahun itu, ronda malam dan kerjabakti dikenakan pada
seluruh kepala keluarga di Desa Prigelan, yang diatur secara bergiliran.