Page 138 - Relasi Kuasa: Dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan
P. 138
Relasi Kuasa dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan 129
yang secara hirarkhis struktural berada pada posisi puncak di Desa
Prigelan. Inilah definisi Wongsodiharjo atas kondisi Desa Prigelan
di masa itu (sebelum tahun 1946), yang mendorongnya untuk
memperlihatkan empati terhadap warga desanya yang miskin.
Kedua, Suparmin (Kepala Desa Prigelan tahun 1946 –
1986) memiliki kesempatan yang lebih besar dibanding ayahnya
(Wongsodiharjo), karena Indonesia telah merdeka, dan Republik
Indonesia yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila,
dan Undang-Undang Dasar 1945 telah berdiri. Oleh karena itu,
pada tahun 1947 Suparmin menetapkan berlakunya kewajiban bagi
pemilik tanah sawah untuk menyerahkan hak garap atas 1/6 bagian
dari tanah sawah kepada Pemerintah Desa Prigelan, untuk kemudian
diredistribusikan kepada petani yang tidak memiliki tanah sawah.
Ikhtiar ini berdampak bagi 120 petani yang tidak memiliki tanah
sawah, yang kemudian memperoleh hak garap atas tanah sawah
seluas 60 ubin.
Selain itu, Suparmin juga berhasil memobilisasi masyarakat
Desa Prigelan, sehingga mampu membangun saluran irigasi dan
memperbaiki saluran irigasi lama yang telah rusak, serta membangun
jalan desa yang dapat menjadi penghubung transportasi antar dusun.
Perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi Suparmin dibanding
Wongsodiharjo, akhirnya mendorong Suparmin untuk lebih
membumi, dengan menetapkan suatu kebijakan yang secara empiris
dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh petani atau masyarakat.
Hal ini merupakan hasil observasi yang dilakukan Suparmin, agar
setiap elemen dalam masyarakat Desa Prigelan dapat menjalankan
perannya masing-masing.
Ketiga, pada tahun 1986 Suparmin digantikan oleh Suparno
(Kepala Desa Prigelan tahun 1986 – 2002), yang menetapkan
larangan bagi orang dari luar Desa Prigelan membeli bidang tanah