Page 89 - RATA: Manual Menilai Konflik Tenurial secara Cepat
P. 89

78    Gamma Galudra, dkk.

            taman nasional itu berdasarkan hak tanah yang mereka
            dapatkan dari leluhur atau dari hak adat. Mereka meng-
            klaim bahwa mereka telah membuka dan mengolah area
            itu sejak tahun 1920-an. Beberapa lainnya mengklaim
            bahwa area itu telah digunakan dan diakses sejak tahun
            1940-an. Para peladang berpindah (kasepuhan) itu meng-
            klaim bahwa para leluhur mereka adalah pasukan elit
            kerajaan Pajajaran. Mereka mempraktikkan pertanian
            ladang berpindah itu dengan menerapkan pengetahuan
            lingkungan mereka sendiri untuk mengelompokkan hutan
            menjadi tiga golongan: leuweung geledegan/kolot (hutan
            utama dan area terlindung), leuweung titipan (hutan lelu-
            hur) and leuweung sampalan (hutan buatan manusia, ter-
            masuk padang rumput dan tanah yang ditinggalkan peta-
            ninya) (Adimihardja, 1992; Galudra, 2003b). Sayangnya
            tidak ada penelitian yang bisa menyimpulkan berapa
            banyak orang yang mengklaim warisannya yang berada
            di dalam taman nasional itu dan berapa hektar tanah
            taman nasional itu yang bisa diserahkan kepada klaim
            semacam itu (Santosa dll., 2007).
                Beberapa klaim legal yang diajukan oleh orang setem-
            pat itu didasarkan pada hak kepemilikan pribadi yang
            dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional tahun 1960-
            an. Klaim semacam itu bisa ditemukan di kabupaten
            Bogor dan Lebak. Dalam sejarahnya, distribusi hak milik
            tanah kepada orang setempat itu merupakan bagian dari
            sebuah program nasional reforma agraria. Orang yang
            mengolah tanah merupakan target utama reforma agraria
   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94