Page 63 - Ecotourism Lereng Merapi Pasca Konsolidasi Tanah
P. 63
50 Aristiono Nugroho dan Sutaryono
cenderung memilih pendekatan persuasif, sehingga meskipun
yang “dibawa” adalah norma hukum, ia “disajikan” sebagai
norma sosial. Walaupun nampak perlahan-lahan, atau
“relatif evolusioner”, tetapi perubahan yang terjadi tidak
akan mengganggu solidaritas sosial yang telah ada sejak lama
di masyarakat. Pendekatan persuasif juga memperlancar
pencapaian konsensus (kesepakatan), yang merupakan
“ruh” pelaksanaan konsolidasi tanah. Konsensus inilah yang
melegitimasi penataan penguasaan dan pemilikan tanah,
terutama perubahan yang terjadi sesudahnya.
Selain latar belakang kekinian, konsolidasi tanah juga
latar histori-ilosois
diketahui secara implisit, konsolidasi tanah telah dikonstatir
dalam Pasal 14 UUPA, yang secara historis berada pada ranah
landreform. Historisitas mengalir, ketika diterbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, yang
merupakan objek landreform. Pada awalnya (histori-ilosois),
objek landreform yang berupa tanah pertanian inilah, yang
akan dijadikan objek konsolidasi tanah perdesaan (rural land
consolidation), sedangkan tanah non pertanian akan dijadikan
objek konsolidasi tanah perkotaan (urban land consolidation).
Namun dalam perkembangan saat ini, objek konsolidasi tanah
tidak hanya tanah objek landreform, melainkan juga meliputi
tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat (Bachtiar, 2014:7).
Oleh karena objek konsolidasi tanah semakin meluas,
hingga meliputi tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat,
maka konsensus menjadi unsur penting. Berdasarkan