Page 115 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 115
2. Belum dilaksanakan pembuatan perjanjian secara tertulis, sebagai-
mana dikehendaki dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1960,
jo Peraturan Menteri Agraria No. 4/1964 melainkan masih
dilaksankan secara lisan tidak dilaporkan pada Lurah/Kepala Desa
dengan imbangan antara pemilik dan penggarap 1:1 untuk sawah,
1:2 untuk tanah kering.
Di luar Jawa untuk sawah 1:2 atau 1:3 untuk tanah kering,
ongkos kerja/tenaga sesuai dengan ketentuan yang berlaku
ditanggung oleh penggarap.
Di dalam masyarakat sekarang ini diduga sedang berkembang
sistem maro (bagi hasil) dimana yang menjadi penggarap justru
orang-orang yang termasuk golongan ekonomis kuat.
Mereka menggarap tanah pertanian persil yang kecil-kecil
yang dimiliki oleh petani pemilik tanah miskin, digabungkan
menjadi satu unit yang besar. Sedang petani kecilnya menjadi
buruh musiman, atau mencari pekerjaan buruh/pekerja kasar di
kota-kota.
Gejala lain yang timbul ialah para petani pemilik tanah miskin,
menyewakan tanahnya kepada orang-orang kaya/bermodal untuk
jangka waktu tertentu 3 sampai 5 tahun.
Penyewa tanah itu selanjutnya bertindak sebagai pengusaha
pertanian dengan sistim:
a. Bagi Hasil dimana pemilik tanah justru menjadi pemaro
penggarap (di atas tanahnya sendiri). Uang hasil persewaan
tanah biasanya dipakai secara boros tidak produktif/efisien,
misalnya: untuk membeli kendaraan bermotor, untuk
mencoba berdagang, untuk hajat, untuk biaya makan selama
paceklik atau keperluan-keperluan lain.
b. Penyewa menggarap tanahnya dengan sistem buruh tani
lepas/harian/tenaga bebas.
Keadaan tersebut di atas dapat terjadi karena:
80