Page 340 - Kembali ke Agraria
P. 340

Kembali ke Agraria

               orientasi dan praktik politik agraria yang ditopang oleh berbagai
               produk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
               kekayaan alam yang abai prinsip populisme UUPA.
                   Implikasinya, di sektor pertanian terjadi ketidakadilan agraria
               yang akut. Hasil lima kali Sensus Pertanian (SP) menunjukkan rata-
               rata penguasaan tanah oleh petani di Indonesia terus menurun, dari
               1,05 ha (1963) menjadi 0,99 ha (1973), lalu jadi 0,90 ha (1983), lantas
               0,81 ha (1993), dan tahun 2003 sudah di bawah 0,5 ha. Jumlah petani
               gurem pada 1983 mencapai 40,8 persen, tahun 1993 jadi 48,5 persen,
               dan 2003 berjumlah 56,5 persen. Sempitnya penguasaan lahan jadi
               faktor penting penyebab kemiskinan petani.
                   Secara substansi, draf RUU ini ternyata tidak bersangkut paut
               dengan rencana pemerintah untuk menjalankan reforma agraria.
               RUU ini juga tidak merujuk kepada UUPA 1960 sebagai payung hu-
               kum atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkan-
               dung di dalamnya. Dengan tak terkaitnya substansi RUU ini dengan
               reforma agraria dan UUPA maka dapat disimpulkan (sementara)
               bahwa RUU ini dilatarbelakangi oleh politik agraria dan kebijakan
               pertanian yang belum mencerminkan kehendak menuntaskan prob-
               lem pokok agraria dengan mengacu cita-cita para pendiri republik.
                   Secara kontekstual, RUU ini hanya menjawab satu persoalan dari
               sejumlah masalah yang tengah melilit pertanian kita: penyediaan
               lahan untuk produktivitas pertanian guna mencapai ketahanan pangan.
               Dua problem utama agraria, ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah
               dan maraknya konflik/sengketa pertanahan tak tersentuh RUU ini.
               Ketimpangan dan konflik harus diselesaikan terlebih dulu, atau dibuat
               terintegrasi dengan legislasi mengenai pengadaan dan pengelolaan
               lahan pertanian pangan abadi. Tanpa didahulukannya penyelesaian
               ketimpangan dan konflik, dikhawatirkan RUU ini tak efektif mengatasi
               sumber persoalan, malah berpotensi memperkusut keadaan.


               Hak Asasi Petani
                   Di luar soal ketersediaan lahan (objek), legislasi untuk melin-


                                                                        321
   335   336   337   338   339   340   341   342   343   344   345