Page 343 - Kembali ke Agraria
P. 343
Usep Setiawan
rakat, pembiayaan, ketentuan pidana, dan ketentuan penutup. Konsi-
derannya, mengingat Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 33 UUD
1945, dan UU No.26/2007 tentang penataan ruang (Draft II, 14 Juni
2007).
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan konversi lahan ke
nonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (1992-2002). Mengutip
Bomer Pasaribu (2007), ketersediaan lahan untuk usaha pertanian
merupakan conditio sine-qua non untuk mewujudkan pertanian
berkelanjutan, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan
nasional.
Kehilangan produksi dan kemiskinan baru
Meminjam data Badan Pertanahan Nasional (BPN), Agus Wa-
riyanto mengabarkan lebih dari 50.000 ha sawah irigasi teknis telah
menjadi lahan nonpertanian. Bila diasumsikan yang sudah beralih
fungsi bisa ditanami padi dan dipanen dua kali setahun dengan
produksi lima ton gabah/ha, maka kehilangan produksi mencapai
500.000 ton gabah setiap tahun (Suara Merdeka, 4/5/07).
Abdul Haris (2003) mencatat dampak dari konversi lahan perta-
nian adalah semakin sempitnya atau bahkan hilangnya lahan subur
untuk lahan pertanian produktif yang dapat menghasilkan pangan
yang cukup bagi sekira 228 juta penduduk Indonesia yang tetap tum-
buh dengan pesat. Hilangnya lahan pertanian sebagian petani gurem
ini dapat menghasilkan kemiskinan baru di perdesaan dan perko-
taan. Alasannya, tenaga kerja pertanian kehilangan pekerjaannya,
di lain pihak mereka tidak punya keahlian untuk masuk sektor indus-
tri, sektor jasa, atau sektor lainnya (Pikiran Rakyat, 20/5/03).
Untuk memperkuat kemampuan produksi beras, Mentan Anton
Apriyantono menegaskan perlunya kebijakan pengendalian laju
konversi lahan sawah dan memperbesar kemampuan negara men-
cetak lahan pertanian baru. DPR pun membuat keputusan No.07A/
DPR-RI/I/2006-2007 tentang Program Legislasi Nasional (Progleg-
nas) yang menempatkan RUU PLPPA sebagai prioritas 2007, di
324