Page 374 - Kembali ke Agraria
P. 374
Kembali ke Agraria
ditangani Badan Pertanahan Nasional RI setelah validasi bulan
Agustus 2007, diketahui terdapat 7.491 kasus, dengan rincian seng-
keta pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus, dan per-
karan pertanahan 2.052 kasus. Dari 7.491 kasus tersebut, prosentase
berdasarkan tipologi masalahnya adalah; (a) Penguasaan dan pemi-
likan 59,61%; (b) Penetapan hak dan pendaftaran hak 14,62%; (c)
Batas dan letak bidang tanah 6,81%; (d) Ganti rugi eks-tanah partikelir
3,48%; (e) Tanah ulayat 1,78%; (f) Tanah objek landreform 2,27%; (g)
Pembebasan dan pengadaan tanah 3,18%; (h) Pelaksanaan putusan
pengadilan 8,20% (Pidato Kepala BPN RI, di Denpasar Bali, 14 No-
vember 2007).
Konflik struktural
Menurut Mahkamah Agung, data empiris sengketa mengenai
pertanahan di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan seng-
keta lain dalam perkara perdata, baik di pengadilan tingat pertama
maupun yang telah masuk ke MA. Rata-rata perkara perdata bidang
pertanahan yang ditangani MA (2001-2005) tercatat 63% dari perkara
perdata yang masuk ke MA (Muchsin; 2007).
Jauh sebelumnya, Konsorsium Pembaruan Agraria telah
merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural sepanjang Orde Baru,
yaitu konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan keku-
atan modal dan/atau instrumen negara. Konflik agraria struktural
adalah sengketa atau konflik yang disebabkan oleh penggunaan dan/
atau penyalahgunaan kekuasaan negara yang dijalankan pemerin-
tahan, bukan antarwarga yang sifatnya individual.
Umumnya konflik agraria berawal dari proses “negaraisasi”
tanah-tanah yang sudah lama dikuasai dan didiami rakyat. Atas
nama hak menguasai dari negara, pemerintah memberikan alas klaim
atau hak pemanfaatan baru bagi badan-badan usaha. Akar konflik
agraria ialah politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang
berkuasa. Politik agraria jadi landasan perumusan dan pelaksanaan
berbagai regulasi, peraturan perundang-undangan dan program
355