Page 375 - Kembali ke Agraria
P. 375
Usep Setiawan
pembangunan yang dijalankan pemerintah. Sepanjang dianut politik
agraria yang kapitalistik, otoritarian dan represif, maka sengketa/
konflik agraria struktural akan terus terjadi.
Selama hak-hak rakyat kecil terus dianaktirikan, dan kemudahan
diberikan kepada pemilik modal besar, konflik dan ketimpangan yang
tak adil sulit diakhiri. Maka, sebelum bicara mekanisme dan kelem-
bagaan penyelesaian konflik, kita mesti terlebih dahulu mengubah
politik agraria, dari yang pro-golongan ekonomi kuat jadi pro-go-
longan ekonomi lemah—seperti kaum tani, buruh, nelayan, masya-
rakat adat, dan kaum miskin kota.
Konflik agraria tak pernah tertangani dengan baik, selain karena
politik agraria, ketiadaan mekanisme serta kelembagaan yang me-
nanganinya, juga karena pemerintah tidak punya cukup komitmen
dan kemampuan. Yang menggenapi kebuntuan penyelesaian konflik
agraria ialah diabaikannya pendekatan budaya dalam memandang,
menangani, mencegah, dan mengantisipasinya.
Politik, hukum dan budaya
Mengingat kompleksitas persoalan yang mengitari konflik ag-
raria, penulis menawarkan kombinasi trilogi pendekatan, yakni:
politik, hukum dan budaya. Pertama, perubahan paradigma dan orien-
tasi politik agraria nasional, dari politik yang pro “Si Kuat” menjadi
pro “Si Lemah”. Diasumsikan perubahan itu akan membuka pintu
bagi dilakukannya pengkajian ulang (review) seluruh peraturan
perundang-undangan terkait agraria dan sumberdaya alam. Dengan
itu, dimungkinkan dibentuknya konsensus baru yang mewujud
dalam aturan hukum baru yang lebih melindungi hak-hak rakyat
atas tanah dan kekayaan alam. Inilah perubahan politik agraria dari
yang kapitalistik, otoritarian dan represif menjadi populistik, demok-
ratis dan menghargai hak-hak rakyat.
Kedua, pendekatan hukum secara progresif dengan mengedepan-
kan terpenuhinya rasa keadilan substansial—kerap disuarakan Prof.
Satjipto Rahardjo—bagi para korban konflik agraria. Pendekatan
356