Page 108 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 108
98 Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
Megaproyek MP3EI Bekerja?
menyerap 30 persen pasar nikel global. Sementara pada 2009, produksi stainless steel China naik 26,8 persen juta ton.
Tingkat konsumsi stainless steel China sendiri hanya sebesar 8, 22 juta ton. 6
Sejak tahun 2009, pasar stainless steel China mengalami over supply sebesar 600.000 ton, hal ini tentunya akan mempeng-
aruhi permintaaan nikel dalam jangka pendek. Di tahun-tahun tersebut, produksi dan net impor nikel oleh China termasuk
nikel kualitas rendah naik 66 persen menjadi sebesar 430.000 ton, sehingga terdapat inventory nikel yang cukup besar di
7
pasar. Namun demikian, produksi nikel China di tahun 2010 meningkat 20 persen menjadi 10,5 juta ton, menyerap inventory
nikel dalam jumlah besar. Sehingga transportasi nikel menjadi jalur bisnis baru yang menggiurkan bagi para pedagang
perantara, para broker tambang, pialang saham, hingga spekulan tanah tingkat lokal.
Kondisi ini bertemu dengan pungutan China atas bea ekspor cukup tinggi bagi NPI yang membuatnya berbiaya mahal untuk
mengirimkan produk luar negeri. Untuk menghindari beban itu, perusahaan-perusahaan China merencanakan relokasi untuk
membangun pabrik NPI di Philipina atau Indonesia. Hanya dalam beberapa tahun usai rencana ini muncul, dengungan
kampanye hilirisasi dalam negeri pun merebak seperi jamur musim hujan. Hal itu sekaligus mendorong lahirnya Undang-
undang Mineral dan batubara sebagai payung hukum karena model NPI dianggap jauh lebih menguntungkan kepentingan
dalam negeri.
Anarkisme Booming Nikel dan Rezim Mineral Batubara
Penemuan teknologi NPI di negeri China mendorong perubahan regulasi di negeri-negeri penyedia bahan baku seperti
Indonesia. Salah satu isu yang berkembang adalah pentingnya mengatur sebuah mekanisme pertambangan secara hilirisasi
untuk meningkatkan nilai tambah. Tampaknya propaganda China untuk mengakhiri era nikel mahal, sepertinya merasuki
pemikiran pengambil kebijakan nasional. Dalam waktu yang sangat singkat, lembaran-lembaran koran nasional, berbagai
majalah bisnis yang membicarakan pertambangan, memuat tanpa lelah desakan pentingnya perubahan tata kelola
pertambangan dari ekspor bahan baku menjadi pengolahan hilir dalam negeri.
Sejarah kontrak lex specialis seperti Kontrak Karya dan Kuasa Pertambangan pun diakhiri. Kebijakan industri pertambangan
dalam negeri kini memasuki babakan baru. DPR dan Eksekutif pemerintah mengetuk palu persetujuan Undang-Undang No. 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Sebuah pasal khusus mengatur kewajiban bagi semua perusahaan tambang
untuk membangun pabrik pengolahan, minimal smelter, selambat-lambatnya tahun 2014. Namun tampaknya gagasan
peningkatan nilai tambah itu jauh dari api dari panggang. Yang datang bukan mesin-mesin NPI milik China, tetapi kapal-
kapal raksasa yang siap memindahkan gunung mineral di pulau-pulau kawasan Timur Indonesia. Para pengusaha dari
berbagai penjuru negeri ini membangun kerjasama baron (tuan tanah) dengan pemerintah setingkat Bupati untuk menerbit-
kan IUP secara sporadis. Mereka menyebut itu sebagai salah satu jalan untuk meningkatkan PAD. Karena memang, logik
pertukaran transaksi dana perimbangan mensyaratkan permintaan yang tinggi lewat PAD yang besar. Pragmatisme dan jalan
pintas akhirnya bertemu. Tongkang-tongkang yang menganggur di Pulau Kalimantan sebagai hotspot batubara, dilayarkan
oleh para kontraktor menuju lokasi-lokasi tambang baru. Orang-orang di Morowali menyebut pengiriman ore nikel itu sebagai
bentuk bisnis ”menjual tanah air”.
Kerjasama Baron itu mencengangkan. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun setelah Undang-undang Mineba diterbitkan,
telah terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran, seperti ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800
persen, bijih besi meningkat 700 persen, dan bijih bauksit meningkat 500 persen. Jumlah volume ekspor meningkat
beriringan dengan produksi izin usaha pertambangan mencapai 10.566 izin. Dari total izin itu, sebanyak 5.940 izin di