Page 116 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 116

106     Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
               Megaproyek MP3EI Bekerja?



                                  peduli dengan nasib petani, “Buktinya saya  berani menerbitkan SKPT LU 1 atas nama Bupati Morowal” tandasnya. Kata
                                  Bupati, sertifikat warga itu tidak bisa dikeluarkan karena ditahan oleh petugas tanah atau Badan Pertanahan Nasional
                                  (BPN). 9

                                  Namun ketika dikonfirmasi ke petugas BPN, justru diperoleh informasi yang berbeda. Pegawai BPN mengaku, selama ini
                                  sertifikat masyarakat itu belum diterbitkan karena belum ada biaya. Ia mengatakan, “BPN sudah mengajukan anggaran ke
                                  Pemkab tapi hingga hari ini belum ada juga kepastian. Pemkab justru beralasan tanah tersebut berada dalam areal Kontrak
                                  Karya Inco, jadi masih sulit untuk diterbitkan” ungkapnya.


                                  Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada trangmigrasi Desa Potensial (Despot) Le'le. Kehidupan para petani transmigran di
                                  Desa ini juga berkaitan dengan perjanjian antara PT Vale dengan warga yang difasilitasi oleh wakil Gubernur Sulawesi
                                  Tengah, Tahun 1995. Dalam pertemuan tersebut petani dipaksa menyepakati beberapa hal yakni, lahan Usaha (LU) 2 petani
                                  tidak dapat diolah karena berada dalam areal PT Vale. PT Vale bersedia mengganti kerugian petani dengan ternak yang
                                  jumlahnya tidak diketahui. Menurut masyarakat setempat kesepakatan itu tidak diterima oleh mereka tetapi karena desakan
                                  Camat, sehingga dengan terpaksa  mereka menerima.

                                  Keadaan ekonomi petani mengalami tekanan berat pada era-era sesudah terjadinya kesepakatan. Petani kekurangan lahan,
                                  kondisi pengairan juga tidak dibangun oleh pemerintah, jadi nyaris tidak ada aktivitas ekonomi yang berarti untuk bisa
                                  digeluti. Pada akhirnya bantuan yang diberikan pemerintah seperti atap seng, dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-
                                  hari. Jumlah petani yang semula 100 KK tersebut kemudian mulai berkurang. Akibat desakan ekonomi banyak petani yang
                                  pergi merantau ke kendari dan menjual tanahnya, menjadi buruh masak pedagang kaki lima dan beberapa orang menjadi
                                  pedagang Bakso di Kota Bungku, dan ada pula yang pindah ke desa-desa tetangga sebagai buruh tani.


                                  Sementara itu, petani yang masih bertahan sebagian ikut bersama rombongan relokasi paksa ikut Saembawalati bersama
                                  masyarakat One Pute Jaya Unit 3 pada 1997. Namun baik petani Le'le maupun One Pute Jaya menolak karena setelah
                                  melihat langsung keadaan tanah baru yang tidak lebih subur dari One Pute Jaya. Mereka anggap jika ikut program relokasi
                                  semua harus dimulai lagi dari nol, dan tidak ada kepastian bahwa lahan itu cocok untuk lokasi pertanian.

                                  Masalah baru pun mulai bermuncul bersamaan dengan ekspasni tambang nikel yang terus meluas. Pengakuan tanah atau
                                  pengambilan kembali lahan oleh penduduk asli (lokal) pun terjadi pada lahan yang sudah diklaim oleh warga transmigrasi.
                                  Seperti halnya One Pute Jaya, di Le'le tingkat jual beli tanah juga menguat pasca status lahan di desa ini berantakan. Adalah
                                                                                           10
                                  Mardi (42) seorang petani transmigrasi yang ikut dalam praktik jual beli tanah.   Mengakui, tanah yang dibelinya dari
                                  peserta transmigrasi lainnya, tiba-tiba berubah nama setelah sertifikat tanah tersebut keluar. Dalam sertifikat bukan lagi
                                  namanya, tetapi orang lain dari penduduk Desa Parilengka yang masih dalam wilayah administrasi Kabupaten Morowali.
                                  Status kawasan transmigrasi Le'le sejak tahun 2006 menjadi kabur karena petanya sudah dihilangkan oleh aparatur desa
                                  setempat.


                                  Menurut masyarakat jika dihitung dari jumlah KK awal, keseluruhan LU 1 luasnya adalah 75 hektar. saat ini, status tanah
                                  tersebut semakin rumit dan tidak jelas kepemilikannya. Petani tidak  mengolah, karena memang tidak ada pengairan atau
                                  irigasi. Sementara itu, lahan usaha 2 yang selama ini dilarang oleh PT Vale untuk diolah, sudah dirambah oleh masyarakat
                                  dari berbagai penjuru, untuk menanam palawija seperti Merica dan Jagung. Jumlah peserta transmigran yang masih
                                  bertahan tinggal 12 KK. Mereka bekerja menjadi buruh tani di ladang penduduk lokal. Sebagian bekerja mencari hasil-hasil
                                  hutan seperti rotan, damar, kayu gaharu, dan dibiayai oleh tengkulak-tengkulak yang ada di desa tetangga.
   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121