Page 119 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 119
Kondisi Kelas Pekerja di Morowali, Sulawesi Tengah 109
Booming Pertambangan Nikel, Perampasan Tanah dan
an hingga perbatasan Sulawesi Tenggara jika memiliki cukup modal untuk beli bahan bakar, bagi yang kesulitan mereka
memilih tinggal dirumah dan membuat perahu untuk dijual.
Pembangunan pelabuhan tambang juga bermasalah dengan orang di Desa Kolono dan Geresa. Aktivitas pemuatan ore pada
siang hari menyebabkan debu berterbangan di mana-mana, sementara pada malam hari mengganggu rompon nelayan.
Lampu penerangan pelabuhan dan kendaraan yang lalu lalang, baik yang terpasang di DT maupun Eksavator, dan kapal
tongkang membuat ikan tidak bisa mendekati rompon. Hal itu ditambah buruk oleh getaran dan bunyi deruh mesin terdengar
keras. 13
Pada bulan Juli 2013, rumpon nelayan milik nelayan Desa Geresa ditabrak oleh tongkang yang sedang mengangkut ore dari
dermaga menuju kapal yang sedang menunggu di dalam sekitar perairan Bahodopi. Tetapi kasus ini lenyap begitu saja dari
perdebatan. Meski sudah pernah di fasilitasi beberapa oleh anggota legislatif Kabupaten Morowali, antara nelayan dan pihak
Sulawesi Resources, tetapi tak kunjung ada kepastian. Laut dan pantai juga sudah berwarna merah. Karena ore yang
ditampung di atas Jetty mengalir ke laut. Bentuk dermaga memang tidak aman bagi biolat laut karena material langsung
bersentuhan dengan air laut. Perusahaan hanya menimbun laut dengan tanah dan memasang kayu disekelilingnya sebagai
pagar, sehingga ketika musim penghujan limpasan ore itu mengalir ke laut dan membuat keruh air laut. 14
Dampak aktivitas pertambangan terhadap nelayan juga berlangsung di Kolonedale, tempat PT (MPR) melakukan eksploitasi
ore nikel. Sebanyak 200 orang warga yang terdiri dari anak-anak, perempuan dan ibu-ibu rumah tangga diserang penyakit
gatal-gatal. Selain mengeluh karena penyakit gatal-gatal tersebut, mereka juga semakin kesulitan mengkonsumi air bersih.
Sebab dimusim penghujan air ledeng, yang mengalir dari pipa saluran air dipenuhi lumpur tanah merah. Demikian juga di
musim kering, debu yang dihembuskan oleh aktivitas ekstraksi di atas gunung ditiup oleh angin laut hingga beterbangan
masuk ke dalam rumah. Setiap masyarakat yang jaraknya hanya kurang lebih 100 meter dari lokasi tambang harus menutup
rapat penampungan air karena debu sudah membuat atap rumah mereka berwarna kuning.
Sementara itu, sejak tahun 2011, produksi keramba ikan nelayan Kelurahan Gambar 7: Keramba ikan warga yang tercemar limbah penambangan nikel.
Foto: Dok. JATAM Sulteng.
Bahoue sudah tidak efektif lagi, terutama, sejak PT MPR membuang limbah tailing
ore ke Teluk Tolo Kolonedale. Padahal, masyarakat ketika masih aktif melakukan
kegiatan sebagai nelayan, pendapatan mereka cukup tinggi. Dalam sehari, mereka
dapat meraup hasil hingga 90 ribu rupiah dan perbulan mencapai 2 juta sembilan
ratus ribu rupiah. Sekarang ruang produksi mereka dipersempit oleh perusahaan
tambang. Pekerjaan pokok mereka dihilangkan oleh limbah dan aktivitas kapal
tongkang, sementara areal pemukiman dan perkebunan mereka telah digali
sedemikian rupa oleh aktivitas ekstraksi tambang nikel PT MPR.
Selain PT MPR, terdapat beberapa perusahaan lainnya yang sedang beroperasi di
Teluk Tolo di antaranya, PT Integra, PT Integra, SSP, Hoffmen, Witamatra,
Suryamindo, dan PT GSMI, dan PT Betamindo. Ketujuh perusahaan ini sama-
sama menimbun (reklamasi) laut untuk kebutuhan pelabuhan ore dan melakukan
aktivitas pertambangan di tepi pantai, terutama hutan di sepanjang garis pantai
barat Teluk Tolo.