Page 126 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 126

116     Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
               Megaproyek MP3EI Bekerja?



                                   Pada tahun 2008, sejak eksplorasi PT Genba dan PT ANTAM dilakukan di wilayah itu, sebanyak 144 KK petani asli (To Mori)
                                   sudah tidak lagi efektif melalukan pertanian. Setelah perusahaan karet yang memagari ruang gerak produksi pertanian
                                   mereka lewat konsesi perkebunan. Perusahaan tambang kemudian ikut menyerap lahan cadangan APL dan hutan alam yang
                                   tersisa. Tak banyak pilihan bagi mereka, akhirnya suami-istri petani di wilayah itu terserap menjadi tenaga kerja harian
                                   lepas. Mereka bekerja di perkebunan karet PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV dan buruh borongan pada area baru PIR
                                   perkebunan sawit PT Sinar Mas yang berada di sekitar perbatasan antara Morowali dan Nuha Luwu Timur.

                                   Setiap hari mereka harus bangun pagi lebih awal dijemput jam 7 pagi dan pulang hingga sampai ke rumah masing-masing
                                   tak menentu kadang siang juga sore hari, bahkan malam hari. Tetapi jam kerja mereka keseluruhan dilakukan hanya
                                   setengah hari yakni, merawat, memanen, dan memupuk  dengan upah 30 ribu rupiah. Apabilah salah satu di antara mereka
                                   (suami-istri) berangkat kerja, maka salah satunya harus tinggal di rumah mengerjakan kebun atau pekerjaan lainnya
                                   sembari menjaga anak-anak.

                                   Petani yang bermukim disini adalah Suku Mori Molonkoni Sub etnis Mori yang berada diempat desa, yakni: Lembelala,
                                   Lembo Baru, Tingkao, dan Wawopada. Selain sebagai buruh tani, saat ini mereka sedang mengusahakan perkebunan karet
                                   secara swadaya diwaktu senggang. Pengelolaan karet tesebut dilakukan secara mendulu-dulu (berkelompok). Lahan
                                   dikerjakan secara bergilir per-kelompok dengan pembagian sepuluh orang tiap kelompok. Setelah masa panen tiba, para
                                   pemilik masing-masing menjual pada tengkulak bebas dengan harga yang bervariasi antara 15.000 hingga 16.000 rupiah
                                   per kilogram.
























                                                           Gambar 10: Kegiatan penambang dan pelabuhan tambang nikel di Teluk Tomori.
                                                                        Foto: Dok. JATAM Sulteng, 2012.



                                   Kehidupan ekonomi masyarakat sebetulnya jika dilihat dari jumlah pekerjaan yang mereka lakukan itu bisa membawa ekono-
                                   mi yang lumayan cukup. Mereka pada satu musim panen setahun masih melakukan pertanian sawah tadah hujan. Masing-
                                   masing rumah tangga mengelola satu hingga 2 hektar. Di samping itu, hasil-hasil hutan seperti rotan dan damar juga masih
                                   sering dilakukan untuk menambah kecukupan ekonomi. Tetapi hasil dari produksi mereka justru serba tidak berkecukupan.
                                   Hal itu ditengarai beberapa hal; 1) didorong oleh kebutuhan uang tunai untuk membayar sejumlah kredit seperti motor, VCD
                                   dan peralatan rumah tangga moderen; 2) kredit berbasis tengkulak juga menjadi masalah serius terhadap masyarakat
   121   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131