Page 35 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 35
Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis
orang itu ditarik dan BPN kemudian memperbaiki kekacauannya.
Kasus semacam ini, dalam pengakuan Kasi Konflik, memang
berasal dari kekacauan adminsitrasi dan pemetaan di masa lalu,
sehingga masalah pertanahan ini seperti “mayat hidup yang sudah
8
lama mati, lalu bangkit lagi”.
Kasus-kasus tersebut di atas diselesaikan tidak melalui
Larasita. Sebab, kasus ini telah menjadi perkara di pengadilan
sehingga penyelesaiannya dilakukan di pengadilan. Dalam
konteks penyelesaian konflik larasita anya mampu melakukan
proses mediasi yang berarti kasus-kasus sengketa tersebut belm
masuk ke pengadilan. Meskipun ada keterbatasan, tidak dapat
dipungkiri bahwa ada kasus di mana Larasita dapat menjadi
bagian dari upaya penyelesaian konflik, yaitu menyangkut mediasi
sengketa batas tanah yang melibatkan institusi gereja di Pacitan.
Waktu itu, pihak gereja mengajukan keberatan sebab tanah yang
diberikan oleh pihak desa untuk pembangunan tempat ibadah
menjadi berkurang, karena orang yang memiliki tanah yang
bersebelahan menggunakan lahan untuk dibuat jalan. Lalu, tim
Larasita mendatangi lokasi sengketa itu dan membawa juru ukur,
gambar dan sebagainya untuk mengukur batas-batas yang tepat.
Pada akhirnya, setelah mediasi dan penentuan batas yang tepat,
sengketa ini dapat diselesaikan.
Namun demikian, konflik dan benih-benih sengketa agraria
yang dapat bermunculan di level pedesaan lebih banyak dari
sengketa batas tanah semacam itu. Jika saja pihak BPN dapat
memberdayakan aparat desa bukan sekedar ‘pembantu BPN’
dalam hal administrasi pertanahan, tetapi juga mitranya dalam hal
penyelesaian konflik, maka situasinya akan berbeda. Selain akan
8. Wawancara Kasi Konflik Kantah Kab. Pacitan, 4 Juni 2010.
— 16 —