Page 153 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 153
Reforma Agraria: Menyelesaikan Mandat Konstitusi
selama ini. Dalam penjelasannya, Fisco dan Barkah mengatakan, lahan
itu tidak pernah diserahkan kepada ATR/BPN, jadi tidak diketahui dima-
na lahan itu berada dan siapa yang menerima (Komunikasi dengan Fisco
dan Yoelianto, 2018). Menurut Zubayr, KLHK memang tidak lagi mengu-
rus tanah itu, karena hal itu melekat ketika melepaskan tanah untuk
kepentingan pembangunan perkebunan secara otomatis diikuti penye-
diaan alokasi 20% untuk masyarakat, namun KLHK juga tidak pernah
diberi tembusan apakah hal itu dilaksanakan atau tidak (Komunikasi
dengan Manifas Zubayr, Kepala BPKH Wilayah II Sumsel). Secara arif
dan bijaksana, Zubayr mengatakan, kita tidak bisa mencari siapa yang
salah karena memang tidak diatur secara tegas siapa yang harus bertang-
gung jawab ketika alokasi 20% itu dikeluarkan dan siapa yang harus
mengelola, apakah ATR/BPN atau Pemda setempat, dan hal itu tidak dise-
butkan secara tegas dalam peraturan. Secara terpisah, Taufik dari BPKH
mengatakan, semestinya memang dinas perkebunan yang mengelola
tanah tersebut serta peruntukannya (komuniaksi dengan Taufik, April
2019).
Dimana letak missing link-nya? Konfirmasi penulis kepada pihak-
pihak terkait menggambarkan realitas yang terjadi di lapangan. Selama
ini tidak pernah ada koordinasi untuk menjalankan dan memanfaatkan
alokasi 20% tersebut dan ATR/BPN hanya berpegang pada Permentan
13/2007 jo Permentan No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 jo No. 29/
Permentan/KB.410/5/2016 dan Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 2/SE/XII/2012 yang menyebutkan pembangunan perke-
bunan (HGU) harus menyediakan alokasi 20% untuk pembangunan
perkebunan masyarakat. Edaran itu sifatnya masih dalam konteks
penekanan pada CSR-Plasma, bukan menyediakan tanah untuk pem-
bangunan perkebunan masyarakat sebagaimana pesan Permen LHK No.
P. 51/2016 dan Inpres No. 8/2018. Rujukan yang digunakan adalah Permen-
tan 98/2013, sehingga jika di sekitar HGU tidak terdapat lahan masyarakat
maka perusahaan harus membangunkan perkebunan masyarakat di
tempat lain atau dalam bentuk-bentuk CSR sebagai tanggung jawab
sosialnya kepada masyarakat sekitar. Dan faktanya, aturan Permentan
ini menjadi alibi bagi perusahaan untuk menghindar dari tanggung jawab
125