Page 71 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 71

Reforma Agraria: Menyelesaikan Mandat Konstitusi

               Joyo Winoto (2005). Pada periode Joyo Winoto, ia berhasil menyeleng-
               garakan Simposium Agraria Nasional yang diselenggarakan di tiga kota
               yang berlainan. Berturut-turut diselenggarakan di Medan (15 November
               2006), Makassar (4 Desember 2006), dan Jakarta (12 Desember 2006). Hasil
               simposium ini kemudian melahirkan kebijakan secara nasional apa yang
               kemudian dikenal dengan istilah Program Pembaharuan Agraria Nasional
               (PPAN), dan kemudian populer  dengan Reforma Agraria (Sohibuddin
               dan Salim [peny.] 2013, 9). RA yang diusung oleh rezim Susilo Bambang
               Yudhoyono (SBY) di bawah komando Joyo Winoto menguat dengan tar-
               get redistribusi tanah 8-9 juta hektar, yang sumber TORA-nya dari
               kawasan hutan, HGU, tanah terlantar, dan tanah lain bekas hak. Akan
               tetapi kemudian praktiknya gagal untuk dijalankan karena Kementerian
               Kehutanan dan Kementerian Pertanian menarik diri, tidak mendukung
               kebijakan tersebut dan SBY tidak “mampu” mengendalikannya.
                   Kegagalan pelaksanaan RA 9 juta hektar bersama Kementerian Kehu-
               tanan dan Kementerian Pertanian menjadi pukulan berat bagi Joyo
               Winoto yang sudah merancang dengan rapi rencana agenda tersebut.
               Joyo menyiapkan dengan serius PPAN, termasuk menjawab tantangan
               Tap MPR IX/2001 sebagai dasar hukum RA. Joyo menginisiasi Raperpres
               RA untuk diajukan ke Presiden SBY, namun SBY gagal menerbitkan
               Raperpres yang sudah lama di gagas oleh Joyo Winoto dan tim. Kegagalan
               ini menjadi persoalan serius bagi Joyo Winoto, karena tidak ada perangkat
               hukum yang memadai baginya untuk menjalankan PPAN, termasuk tidak
               adanya dasar hukum untuk membentuk kelembagaan RA, padahal dalam
               Raperpres itu meliputi kelembagaan yang disulkan untuk mengelola RA
               (Winoto, 724). Di tangan SBY jauh lebih parah dari era Sukarno, RA layu
               sebelum berkembang, RA pupus sebelum dijalankan, dan Joyo Winoto
               “sendirian” berjuang untuk melakukan redistribusi tanah dari objek-objek
               yang tersedia, bekas HGU dan tanah terlantar. Sialnya, potensi objek RA
               dari tanah terlantar yang cukup signifikan itu gagal diwujudkan, karena
               mayoritas penetapan tanah terlantar yang akan dijadikan objek RA kalah
               dalam gugatannya di pengadilan, hanya di Batang yang berhasil dime-
               nangkan oleh BPN (Mujiburrahman & Utami 2015), lainnya mayoritas
               BPN dikalahkan.


                                                                          43
   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76